Sejarah Kerajaan Tanjungpura Sebuah Catatan Agus Kurniawan
Daftar Isi
- I. Dari Dondongan ke Pawan
- II. Moyang di Hulu: Tuk Upui, Datu, dan Nek
- III. Jejak Hindu di Benua Lama dan Pelabuhan di Karimata
- IV. Islam Tua di Negeri Baru dan Nisan-Nisan Berbicara
- V. Kota yang Bernama Ketapang – Dari Catapangen ke Bengadong (hingga sebelum 1828)
- VI. Tanjung Pura: Menyusuri Kabut Nama dari Peta ke Sungai
- VII. Di Antara Nama yang Tinggal dan Nama yang Luruh
I. Dari Dondongan ke Pawan; Legenda dan Bukti Kartografi
Pawan,
nama yang menyusur lembut dalam tiap arusnya, menyimpan gema yang lebih tua
daripada yang sekadar tercetak dalam peta-peta buatan tangan kolonial. Bila
kita dengarkan dengan saksama, dalam arusnya mengalir sebuah asal muasal yang
bukan hanya soal geografi, tetapi tentang ruh suatu negeri. Dalam akar katanya,
“Pawan” dekat dengan tutur Sansekerta “Pavana” atau “Pawana”, yang berarti
angin. Dan seperti angin, ia tidak kelihatan namun terasa. Seperti sejarah
negeri ini, yang tak banyak tercatat, tapi membekas dalam ingatan kolektif
penduduk di sepanjang bantaran sungainya.
Di hulu
Sungai Pawan, terdapat anak sungai bernama Keriau. Di sanalah, menurut banyak
tutur yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, berdiri Gunung
Mendung Berangin. Sebuah nama yang seolah-olah menjadi stempel alam untuk
menegaskan asal dari kata Pawan itu sendiri: Mendung yang membawa angin, awan
yang berserak lalu turun ke dalam air. Di kaki gunung itulah dipercaya terdapat
mata air pertama yang mengalir menjadi Sungai Pawan. Namun bukan sekadar air
yang mengalir. Di baliknya, ada kisah tua—kisah pohon Kedondong Raksasa yang
tumbang, menyayat tanah purba, membuka jalur air yang kemudian menjadi sungai.
Bukan dongeng. Ini simbol. Sebab pohon kedondong yang tumbang itu adalah
lambang dari keruntuhan suatu kekuasaan, dan sungai yang lahir dari luka tanah
itu adalah lambang dari peradaban baru yang mengalir di atas puing-puing
sejarah.
Bila kita
membuka lembar-lembar peta tua dari abad ke-17 dan 18, kita akan temukan
nama-nama yang mendekati cerita rakyat itu. Di sana, tidak tertulis Sungai
Pawan, tetapi justru nama “Dondongan” muncul di beberapa tempat di sepanjang
aliran sungai. Dondongan, negeri yang mengingatkan kita pada buah Kedondong,
yang bagi orang Melayu Kalimantan adalah buah yang tak hanya dikunyah, tapi
dijadikan perlambang: pahit di kulit, asam di isi, namun menyegarkan setelah
ditelan. Negeri Dondongan dalam peta itu mungkin adalah cerminan nyata dari
legenda pohon Kedondong Raksasa. Ia pernah berdiri, lalu tumbang. Dan di tanah
retak yang ditinggalkannya, mengalir sungai bernama Pawan.
Namun,
nama Pawan bukanlah satu-satunya yang pernah disematkan pada aliran besar ini.
Pada masa-masa sebelumnya, sungai yang sama juga dikenal dengan nama Sungai
Matan Baru, terutama ketika Kesultanan Matan memindahkan pusat pemerintahannya
ke hulu sungai pada abad ke-18. Nama ini muncul dalam berbagai dokumen dan peta
kolonial, mencerminkan identitas kerajaan yang berpindah namun tetap setia pada
sungai yang sama. Selain itu, bagian hilirnya juga pernah dikenal sebagai Sungai
Kayong, karena di sanalah bermuara sebuah anak sungai bernama Kayong yang
menjadi tempat berdirinya ibu kota Matan pada kurun abad ke-19. Maka dari itu,
nama Pawan bisa dikatakan lahir sebagai sintesis dari sejarah panjang migrasi
dan transformasi kekuasaan.
Bukti itu
menjadi makin nyata ketika kita menelusuri peta buatan US Army tahun 1944.
Dalam peta tersebut, wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Ketapang Besar
diapit oleh dua sungai yang disebut sebagai Sungai Ketapang dan Sungai Kandang
Kerbau. Anehnya, Sungai Pawan tak tampak sama sekali pada bagian hilir. Nama
itu baru muncul setelah kedua sungai tersebut bertemu di satu simpul air yang
oleh orang tua-tua disebut Simpang Sentap, atau Kepala Pulau. Barulah setelah
persatuan itu, mengalir nama: Sungai Pawan. Seolah-olah nama itu tak lahir dari
satu muara, tapi dari pertemuan, dari percampuran air dan sejarah, dari
perbincangan antara dua arus yang berbeda.
Ini
membuat kita bertanya: adakah Pawan itu benar-benar nama tua, atau nama baru
untuk sesuatu yang lama? Jika ia baru, mengapa terasa begitu akrab? Jika ia
tua, mengapa tak tercatat dalam peta sebelum-sebelumnya? Di sinilah pentingnya
memahami peta bukan hanya sebagai representasi wilayah, tapi juga alat
kekuasaan. Peta kolonial tak mencatat yang tidak mereka perlukan. Yang mereka
lihat bukanlah yang hidup dalam tutur masyarakat, tetapi yang penting bagi
pelayaran dan logistik. Maka, Pawan yang sesungguhnya adalah nama yang hidup
dalam mulut rakyat, dalam doa petani air, dalam seruan nelayan muara, bukan
dalam catatan surveyor asing.
Namun,
meski begitu, peta tetap berguna. Ia menjadi alat untuk membuktikan bahwa
tempat yang disebut masyarakat sebagai Dondongan memang pernah ada dan diakui
dalam kartografi kolonial. Dan Dondongan ini bukan tempat sembarangan. Ia
disebutkan berulang dalam peta-peta Portugis, Belanda, hingga Inggris. Ia
berdiri di antara percabangan sungai, tempat yang strategis untuk menjadi pusat
kekuasaan. Maka bukan mustahil jika dahulu, di tanah ini, berdiri sebuah
kerajaan tua bernama Dondongan, yang kemudian tumbang, lalu lahir kekuasaan
baru di atas namanya yang tenggelam—seperti Sungai Pawan yang mengalir di atas
akar pohon purba.
Penting
pula kita sadari, dalam budaya Melayu, sungai bukan sekadar aliran air, tetapi
jalan. Jalan raja, jalan dagang, jalan ilmu, bahkan jalan asal usul. Maka nama
sungai adalah nama sejarah. Nama yang mengikat masa lalu dengan masa kini. Dan
bila kita menyebut Pawan hari ini, sejatinya kita sedang menyebut juga
Dondongan, Kedondong Raksasa, Simpang Sentap, Gunung Mendung Berangin, dan
semua kisah yang tak tertulis tapi hidup dalam denyut airnya.
Sejarah
tidak selalu ditemukan di dalam buku. Kadang, ia mengalir dalam air. Kadang, ia
bergema dalam nama yang kita ucapkan sehari-hari. Dan Sungai Pawan adalah saksi
paling setia dari segala sesuatu yang tak ingin dilupakan oleh tanah Ketapang.
II. Moyang di Hulu: Tuk Upui, Datu, dan Nek
Di hulu
sungai, sejarah tak selalu bersuara. Ia lebih sering berbisik lewat nama-nama
tempat dan cerita tua yang dituturkan di serambi rumah, di tepian api unggun,
atau dalam doa orang-orang tua kepada cucunya. Salah satunya adalah nama Natai
Kemuning. Terletak di tepian kanan Sungai Pawan bagian hulu, tempat itu
diyakini sebagai pemukiman pertama manusia di Tanah Kayong. Dari sanalah
nama-nama legendaris itu muncul: Tuk Upui, Tuk Ubut, Nek Doyan, dan Nek Takon.
Mereka
bukan sekadar tokoh dongeng atau penghuni hikayat setengah nyata. Mereka adalah
penanda hadirnya gelombang peradaban awal yang menjejak di tanah ini, jauh
sebelum catatan kolonial menulis “Pawan”, “Matan”, bahkan “Ketapang”. Nama-nama
itu adalah kode budaya. Tuk, Nek, dan Datu bukan sapaan biasa. Dalam bahasa
warisan Austronesia dan rumpun Melayu-Polinesia, istilah itu bisa diartikan
sebagai “yang dituakan”, “yang mengasuh”, atau “yang memimpin”. Tuk Upui bisa
dibaca sebagai ‘lelaki sulung pendiri’, Tuk Ubut sebagai ‘patih awal’, dan Nek
Takon sebagai penjaga pelabuhan laut. Sedangkan Nek Doyan, perempuan bijak di
hulu Siduk, menjadi pertanda bahwa perempuan memegang peran kunci dalam sistem
awal di wilayah ini—sebuah hal yang selaras dengan temuan antropologi mutakhir.
Dalam
teori genetik dan arkeologi terkini, terutama yang dikemukakan oleh Pugach et
al. (2013) dan Majumder (2019), nenek moyang orang Nusantara terdiri dari dua
gelombang besar: pertama adalah kelompok migrasi prasejarah dari Taiwan
(Austronesia), dan yang kedua adalah kelompok lebih tua dari daratan Asia
Tenggara (Papuan-Australoid). Teori “dual structure” ini mengakui bahwa
orang-orang yang mendiami Kalimantan, khususnya wilayah pesisir dan hulu
sungai, adalah hasil percampuran yang kompleks antara pelaut Austronesia dan
penghuni lama benua Sunda. Maka tak heran bila di Ketapang hari ini kita
mengenal keberadaan tiga suku besar: Suku Hulu, Suku Laut, dan Suku Darat—yang
jika dilihat lebih dalam, adalah jejak dari percampuran itu sendiri.
Cerita
tentang Tuk Upui dan Nek Doyan, oleh karena itu, bukan hanya legenda. Ia bisa
ditafsirkan sebagai ingatan kolektif tentang gelombang peradaban awal. Tuk Ubut
disebut pernah singgah di Sukadana, lalu naik ke Natai Kemuning. Gelarnya saat
itu masih Patih. Ini penting, karena gelar Patih merupakan jabatan administratif
tinggi dalam struktur kerajaan, biasanya diberikan kepada tokoh migran yang
dipercaya oleh pemimpin lokal. Dari sini kita bisa mencium satu pola: para
leluhur yang disebut dalam cerita rakyat adalah tokoh-tokoh transisi dari masa
komunitas berburu–meramu ke masa pertanian menetap dan perdagangan sungai.
Nama
“Nek” juga memuat lapisan makna yang dalam. Dalam sejarah Sambas, penguasa
pra-Islamnya pun bergelar Nek—Nek Riuh. Gelar ini tak lagi muncul di era
Islamisasi, digantikan dengan gelar Sultan atau Panembahan. Artinya, gelar Nek
dan Datu adalah peninggalan dari zaman sebelum dakwah Islam masuk ke tanah
Borneo. Zaman ketika kepercayaan lokal, animisme, dan kekuasaan berbasis
kesepakatan adat menjadi fondasi tatanan sosial. Dalam konteks itu, Datu bukan hanya
pemimpin politik, tetapi juga pemangku ilmu dan penjaga hukum alam.
Di
wilayah Sukadana, nama Ne’ Takon muncul sebagai pengawas pelabuhan awal, tempat
di mana kapal-kapal laut dari utara dan barat berlabuh, jauh sebelum ada bandar
besar di muara Sungai Pawan. Di hulu Siduk, ada Nek Doyan—yang bila ditafsir
berdasarkan kondisi geografi dan ekonomi setempat—menunjukkan bahwa Siduk
dulunya adalah pelabuhan penting penghasil emas. Emas yang dikeruk dari perut
bumi Kalimantan lalu dibawa menyusur sungai hingga ke pelabuhan luar. Bukti ini
diperkuat oleh temuan emas dan manik-manik kuno di beberapa lokasi di Hulu
Sungai Pawan dan Siduk, yang diduga berasal dari masa awal perdagangan maritim
antara Melayu, India, dan Tiongkok.
Bahkan
jejak bahasa Kayong pun mendukung hal ini. Dalam logat Melayu Kayong, terdapat
banyak kata yang memiliki akar Austronesia yang masih hidup. Kata “natai”
sendiri misalnya, berarti dataran rendah berair di sekitar sungai—yang dalam
beberapa dialek Dayak disebut juga sebagai “banua”. Keduanya, natai dan banua,
mengacu pada konsep “tempat hidup yang lestari”, tempat masyarakat bisa
menetap, bercocok tanam, dan memulai kehidupan bersama. Natai Kemuning bukan
hanya tempat, ia adalah simbol peralihan dari gelombang pemburu menjadi bangsa
berladang dan berdagang.
Maka
ketika kita bicara Tuk Upui dan kawan-kawannya, kita sedang membaca semacam
manuskrip hidup. Mereka adalah ingatan tentang perpindahan, penyesuaian, dan
kesepakatan. Dalam tubuh keturunan mereka, mengalir darah Austronesia, tetapi
juga roh tanah tua. Mereka yang membuka hutan, merakit rakit, menanam kemuning
dan kelapa, menggali emas, dan menanam bahasa dalam sebutan Datu dan Nek.
Mereka adalah nenek moyang, yang dalam kisahnya kita temukan identitas, bahkan
sebelum negara bernama Indonesia itu sendiri lahir.
III. Jejak Hindu di Benua Lama dan Pelabuhan di Selat Karimata
Di
seberang Ketapang Besar, berdirilah Benua Lama. Nama ini tidak sekadar
toponimi. Ia adalah pernyataan waktu, sebuah isyarat tentang masa lalu yang
pernah mengakar di sana. Orang-orang tua menyebutnya tempat candi tua. Di
sanalah, reruntuhan batu berserakan di tanah merah, ditutupi lumut dan ilalang,
menjadi saksi diam dari sebuah zaman yang terlupa: zaman ketika peradaban Hindu
menjejak di tepi Sungai Pawan.
Banyak
yang mengira Kalimantan Barat hanyalah wilayah peralihan dalam peta maritim
kuno. Tapi mereka keliru. Di antara ribuan pulau di Nusantara, daerah ini
justru berada di tengah lalu lintas strategis: Selat Karimata. Selat ini adalah
gerbang dari jalur dagang antara India, Cina, dan Kepulauan Rempah di timur. Ia
menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Laut Jawa. Maka siapa yang menguasai
jalur ini, dialah yang menguasai nadi perdagangan dunia kuno.
Namun
Selat Karimata bukan tempat yang ramah. Angin barat yang datang di bulan-bulan
tertentu membawa badai besar. Kapal dagang dari Gujarat, Bengal, atau Hainan
akan menepi, mencari perteduhan di pelabuhan-pelabuhan kecil di sepanjang
pantai barat Kalimantan. Dan Ketapang, dengan muara sungainya yang bercabang,
memberikan tempat aman yang tak dimiliki banyak wilayah lain. Bahkan lanun—para
perompak laut—sulit mengejar kapal di sungai yang cabangnya bercabang dan
arusnya berliku-liku seperti Pawan dan anak-anak sungainya. Maka muncullah bandar-bandar
kecil di sepanjang sungai ini.
Benua
Lama bukan hanya tempat tinggal, ia adalah kota. Kota dengan candi. Dan candi
bukan didirikan di sembarang tempat. Dalam kosmologi Hindu, candi adalah poros
antara langit dan bumi. Ia harus berdiri di titik yang dianggap sakral, dekat
air, di tengah pusat kekuasaan. Maka ketika kita temukan candi bercorak Hindu
di Benua Lama, itu pertanda bahwa di sana pernah berdiri pusat pemerintahan
yang memiliki pengetahuan tinggi akan spiritualitas, seni bangunan, dan hubungan
dengan India atau Jawa.
Jika kita
telusuri lebih jauh, keberadaan candi ini selaras dengan pola penyebaran budaya
Hindu di Nusantara. Candi-candi awal seringkali tidak sebesar Borobudur atau
Prambanan, tetapi lebih mirip dengan struktur-struktur kecil seperti Candi
Batujaya di Karawang atau situs Air Sugihan di Sumatera Selatan. Mereka lebih
tua, lebih sederhana, namun menjadi dasar dari pengaruh besar yang berkembang
kemudian. Dan jejak seperti itu kita temukan di tepian Sungai Pawan.
Hubungan
Ketapang dengan dunia Hindu juga tersirat dari gelar-gelar raja yang muncul
dalam legenda dan hikayat. Sebelum memakai gelar Sultan, raja-raja awal Kayong
disebut Prabu. Ada pula sebutan Maha Raja, sebagaimana tercatat dalam legenda
Prabu Jaya. Ini bukan kebetulan. Gelar-gelar ini memiliki akar dalam sistem
kerajaan Hindu di Jawa Timur dan India Selatan. Bahkan dalam silsilah yang
dikisahkan turun-temurun, Prabu Jaya disebut sebagai anak raja dari Majapahit.
Apakah ini hanya kisah fiksi? Tidak semudah itu disingkirkan. Dalam tradisi
Melayu, legenda adalah cara rakyat menyimpan sejarah dalam bentuk yang bisa
dinyanyikan dan diingat.
Ketika
Gajah Mada bersumpah untuk tidak akan makan palapa sebelum menaklukkan seluruh
Nusantara, salah satu nama yang disebut dalam daftar penaklukannya adalah
Tanjungpura. Ini tercatat dalam Kakawin Nagarakretagama, pupuh 14. Artinya,
pada abad ke-14, Tanjungpura—yang hari ini kita yakini sebagai
Ketapang—dianggap penting oleh kerajaan terbesar di Nusantara waktu itu. Ia
bukan sekadar titik peta, tapi wilayah strategis yang wajib ditaklukkan untuk
menyempurnakan imperium.
Mengapa
Gajah Mada begitu ingin Tanjungpura? Karena ia tahu, kekuatan Majapahit tak
akan lengkap tanpa menguasai jalur laut Karimata. Di sinilah teori geopolitik
klasik bermain: kontrol atas laut adalah kontrol atas dunia. Dan Ketapang
adalah pelabuhan antara. Pelabuhan transisi antara India dan Cina, antara Jawa
dan Borneo bagian utara. Ia adalah tempat sandar, tempat tukar, tempat bertemu.
Para
saudagar dari Gujarat membawa kain dan rempah. Dari Cina datang keramik dan
logam. Dari pedalaman Kalimantan dibawa emas, damar, rotan, dan kayu ulin. Di
bandar Ketapang itulah semua bertukar. Maka berdirilah struktur-struktur
pelindung dagang dan tempat ibadah spiritual mereka: candi, pelabuhan kayu,
balai perundingan. Jejaknya mungkin telah terkubur lumpur sungai dan rumah
penduduk modern, tapi serpihan sejarahnya masih berserak di cerita orang tua,
di ukiran di nisan tua, dan dalam artefak yang terkadang muncul saat menggali
pondasi.
Dalam
peta pelayaran Eropa abad ke-17, Ketapang ditandai sebagai Catapangen—kampung
besar di muara sungai. Namanya mungkin berubah, tapi fungsinya tetap: pelabuhan
penghubung. Dan di balik semua itu, berdiri Benua Lama, seperti bayang-bayang
yang menanti untuk diingat kembali.
Benua
Lama bukan hanya tempat tua. Ia adalah sumber segala jejak. Sebab peradaban
selalu lahir dari air—dan dari candi di tepiannya.
IV. Islam Tua di Negeri Baru dan Nisan-Nisan Berbicara
Di atas
tanah yang basah oleh kenangan dan desir angin dari Sungai Pawan, berdiri
sebuah pemakaman yang sunyi tapi tak pernah betul-betul diam. Masyarakat
menyebutnya Keramat Tujuh, sebagian lagi menyebutnya Keramat Sembilan. Tapi
jika dihitung satu per satu, nisan-nisan di sana jauh lebih banyak dari jumlah
yang tertulis dalam nama-nama itu. Dan di antara mereka, berdirilah beberapa
batu tua yang kerap diabaikan, ditutupi lumut dan debu sejarah, tapi
sesungguhnya adalah suara pertama yang menyatakan: “Islam telah sampai di
tanah ini jauh lebih awal dari yang kau duga.”
Salah
satu nisan itu memuat angka yang menggetarkan: 1418 Masehi. Itu berarti, Islam
telah bertapak di bumi Ketapang saat Majapahit masih tegak, saat Malaka baru
akan menyusun sistem dagang dan pelabuhan, dan bahkan sebelum Demak menyebut
dirinya sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Nisan itu menjadi bukti,
bahwa negeri ini tidak datang terlambat dalam arus Islamisasi. Ia bahkan lebih
dulu daripada banyak negeri yang hari ini merasa lebih tua dalam urusan agama.
Tapi
nisan tak hanya bicara tentang waktu. Ia bicara tentang cara pandang. Lihatlah
pada bentuknya: batu pipih yang berdiri tanpa ukiran mewah, tapi dengan tulisan
Arab yang bersahaja. Di salah satu nisan itu, tertulis: “Kullu nafsin
dza’ikatul maut”—Setiap yang bernyawa pasti mati. Ini bukan sekadar pesan
akhirat. Ini pesan politik. Pesan untuk penerus, agar jangan menyalahgunakan
kuasa. Bahwa segala raja akan berlalu. Bahwa dunia hanya tempat singgah.
Sebagian
peneliti menyebut nisan-nisan itu sebagai makam ulama pendatang. Yang lain
menduganya sebagai tempat peristirahatan raja yang telah masuk Islam, tapi
belum menjadikan Islam sebagai sistem resmi kerajaan. Di sinilah perdebatan
menjadi menarik. Sebab, jika benar seorang raja dimakamkan di sana, maka
berarti ada sebuah peradaban Islam tua yang diam-diam tumbuh di tepian Pawan,
beriringan atau bahkan sebelum Sukadana menjadi pusat Islam yang
terang-benderang.
Lokasi
makam itu disebut Negeri Baru. Letaknya tidak jauh dari Benua Lama. Dua nama
itu seolah-olah ditakdirkan berdampingan dalam narasi sejarah: satu mewakili
masa Hindu, satu mewakili masa Islam. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa keduanya
saling menggantikan secara kasar. Tidak ada candi yang dihancurkan, tidak ada
masjid yang menindih pura. Ini bukan revolusi. Ini transisi. Transisi budaya
dan spiritual yang berjalan pelan-pelan, seperti aliran air Pawan saat surut.
Kita bisa
membayangkan: mungkin mereka, para penyebar Islam awal, bukan datang dengan
pedang atau pasukan, tetapi dengan dagang, dengan hikmah, dengan jubah dan
kitab. Mungkin mereka berdagang di pelabuhan Dondongan, menetap di pinggir
sungai, lalu menikah dengan penduduk lokal. Perlahan, ajaran Islam meresap ke
dalam kehidupan, menjadi selendang dalam pakaian, menjadi lafaz dalam nasihat,
menjadi arah dalam makam.
Ini
sesuai dengan pola Islamisasi di Nusantara: melalui para pedagang dari Arab
Selatan, Gujarat, bahkan Hadramaut. Melalui para penyebar yang disebut Syaikh
Magribi, yang di banyak tempat diyakini datang dari negeri-negeri Islam klasik
di Afrika Utara atau Asia Barat. Beberapa jejak menunjukkan kemungkinan bahwa
komunitas Muslim awal di Ketapang memiliki hubungan dengan Kesultanan Samudera
Pasai. Koneksi ini masuk akal, mengingat Pasai merupakan pelabuhan Islam
pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Mamluk Mesir
dan kekhalifahan lain.
Jika
benar ada hubungan antara Ketapang dan Pasai, maka itu menjelaskan bagaimana
nisan bergaya Aceh bisa sampai di Pawan. Bahan batunya pun serupa dengan batu
nisan tua yang ditemukan di Lamuri, Aceh Besar. Bentuknya khas: tinggi,
ramping, dan bertulisan Arab klasik, biasanya dengan kaligrafi kufi atau naskhi
awal. Ukiran yang jauh dari kemewahan, tapi justru karena itulah ia terasa
agung.
Yang
menarik, walau Islam sudah masuk di abad ke-15, ia belum serta merta menjadi
agama negara. Peradaban yang dibentuk Prabu Jaya dan penerusnya masih bercorak
Hindu-Jawa. Ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islamisasi, spiritualitas dan
politik belum selalu berjalan beriringan. Raja mungkin memeluk Islam, tapi
sistem kerajaannya masih berakar pada Majapahit. Baru kemudian, saat Panembahan
Giri Kusuma berkuasa, Islam benar-benar menjadi dasar kekuasaan dan hukum. Tapi
itu cerita lain, di bagian berikutnya.
Kembali
ke nisan-nisan tadi. Mereka mungkin diam. Tapi di dalam diamnya, mereka
berbicara jauh lebih lantang dari teks buku pelajaran sejarah. Mereka
menyatakan bahwa negeri ini, yang sering dianggap pinggiran, sebenarnya telah
berada di arus utama sejarah dunia Islam. Bahwa Ketapang bukan hanya menyambut
Islam—tapi menyimpannya dalam tanah, dalam batu, dan dalam sebutir doa yang
dibisikkan setiap orang yang menabur bunga di atasnya.
Sejarah
tidak selalu ditulis dengan tinta. Kadang ia digurat di batu, dan kadang ia
diucapkan dalam ziarah.
V. Kota yang Bernama Ketapang – Dari Catapangen ke Bengadong (Pra Kolonial)
Ketapang
tidak lahir dari mimpi pejabat kolonial, bukan pula hasil rekayasa
administratif. Ia tumbuh dari tepi sungai yang terus-menerus dilalui, dari
tambatan rakit-rakit pedagang, dari sebutir benih pohon Tapang yang menjulang
dan meneduhi para pelintas arus. Ia bukan kota yang dibuat, tetapi kota yang tumbuh—sebagaimana
pohon yang mendapat cukup air dan akar sejarah yang kuat.
Sebelum
nama “Ketapang” dikenal seperti hari ini, pelaut-pelaut Eropa mencatat wilayah
ini sebagai Catapangen. Nama itu muncul dalam peta tahun 1728 yang disimpan di
Perpustakaan Nasional Singapura. Peta tersebut bukan sembarang peta; ia adalah
catatan niaga dan pelayaran yang memetakan jalur strategis Asia Tenggara. Dari
situlah kita tahu, bahwa lebih dari seabad sebelum Panembahan Sabran
memerintah, Catapangen telah dikenal sebagai bandar tempat kapal-kapal singgah,
berlabuh, dan bertukar barang.
Boleh
jadi, Catapangen adalah sebutan asing atas komunitas pesisir yang mulai menetap
di muara Sungai Pawan—komunitas yang lahir dari hubungan dagang antara orang
Melayu, Dayak Hulu, dan pedagang Tionghoa. Pusat permukimannya mungkin masih
sederhana: rumah panggung di tepi sungai, kebun nipah, dan dermaga rakit. Namun
fungsinya sangat penting. Ia adalah pelabuhan perantara antara hulu dan hilir,
antara gunung dan lautan.
Menurut
penuturan lisan yang hidup dalam masyarakat, nama Ketapang sendiri berasal dari
pohon Tapang, tempat seorang punggawa kerajaan biasa menambatkan perahunya saat
berpatroli menjaga kuala. Pohon itu menjadi penanda. Dan seperti lazimnya
budaya Melayu yang menamai suatu tempat dengan objek atau peristiwa, kawasan
itu kemudian disebut sebagai tempat “ka-Tapang”—ke-Tapang—ke pohon Tapang itu.
Sumber
sejarah dari Melayu Riau, seperti Silsilah Raja-Raja Melayu dan Bugis
karya Raja Ali Haji, juga memberi petunjuk penting. Dalam kitab itu, Sungai
Ketapang disebut sebagai pintu masuk kapal para Opu Daeng bersaudara dari Bugis
yang hendak membantu konflik di Matan pada awal abad ke-18. Artinya, Ketapang
sudah dianggap jalur penting pelayaran sebelum Kesultanan Matan pindah ke hulu.
Menariknya,
setelah pemindahan pusat kerajaan dari Sukadana ke Indera Laya, dan kemudian ke
kawasan Sungai Matan Baru (anak Sungai Pawan), Ketapang tetap menjadi titik
yang dikunjungi. Dalam berbagai peta Belanda awal abad ke-19, nama “Ketapang”
dan “Bengadong” muncul berdampingan. Ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut
bukan tempat sunyi, melainkan sudah menjadi kawasan penting: tempat
peristirahatan, tempat tambat, tempat permukiman.
Bengadong
sendiri patut dicermati. Dalam cerita rakyat Kayong, Bengadong diyakini sebagai
kawasan lama dari Dondongan, negeri yang dahulu dikisahkan tumbuh besar lalu
tumbang, dan dari reruntuhannya mengalir Sungai Pawan. Nama Bengadong mungkin
berasal dari “Gedong” atau “Gedongan”—tempat kediaman agung. Bisa jadi, itu
adalah bekas lokasi permukiman istana atau kediaman bangsawan dari masa
kerajaan sebelum Islam. Sebuah lapisan yang menandakan bahwa sejarah Ketapang
tidak tunggal, tapi berlapis.
Ada juga
petunjuk dari Georg Müller, yang datang tahun 1822. Dalam catatannya, ia menyebut
dua kampung utama di kanan hilir Sungai Pawan: Ketapang dan Begadong.
Orang-orangnya disebut sebagai orang Melayu, dengan sebagian kecil Tionghoa
yang mulai membuka kebun dan pertanian. Bahkan menurut Müller, Sungai ini
dinamai Ketapang karena pohon-pohon Tapang yang berjejer rapi di sepanjang
tepiannya. Sebuah pemandangan alam yang membentuk nama dan kemudian menjadi
identitas.
Namun
yang tak kalah penting: Ketapang bukan sekadar nama tempat. Ia adalah penanda
aliran peradaban. Ia menjadi jalur yang menghubungkan pusat pemerintahan di
hulu dengan dunia luar. Ia menjadi simpul dari arus barang, orang, dan gagasan.
Dan walau pusat kerajaan berpindah-pindah—dari Natai Kemuning ke Sukadana, lalu
ke Indera Laya, hingga ke Mulia Kerta—Ketapang tetap menjadi tepi yang ramai,
seperti galur darah yang mengalir diam-diam tapi menghidupi seluruh tubuh.
Sebelum
1828, Ketapang adalah wajah perbatasan yang tenang namun penuh siasat. Ia bukan
kota istana, tetapi ia adalah kota lintas. Kota tempat orang datang, menunggu,
menimbang arah. Ia adalah dermaga keputusan. Di sanalah nisan Islam tua
ditemukan. Di sanalah dagang Tionghoa dan emas Dayak berpadu. Dan di sanalah,
dari pohon Tapang yang ditambatkan oleh punggawa, lahirlah nama yang hari ini
menjadi identitas sebuah kabupaten besar: Ketapang.
Bab VI Tanjung Pura: Menyusuri Kabut Nama dari Peta ke Sungai
Dalam
sejarah Melayu, ada nama-nama yang gemetar panjang di antara nisan dan sungai,
di antara kitab dan kabar angin. Salah satu yang paling sering disebut, dan
paling sering pula disangsikan, adalah Tanjung Pura. Nama itu hidup dalam
banyak hikayat, tapi keberadaannya selalu dikelilingi kabut. Ia disebut dalam Sulalatus
Salatin, dalam catatan Tionghoa abad pertengahan, bahkan dalam Kakawin Negarakertagama.
Tapi ketika para peneliti mencoba menaruh jari mereka di peta, Tanjung Pura
kerap berubah tempat, atau hilang sama sekali.
Penelitian
Smith dan Smith (2011), misalnya, mencermati kemunculan kata “Hermata” dalam
beberapa peta pelayaran abad ke-17 hingga 18, yang diyakini mewakili pusat
kekuasaan di pesisir barat Kalimantan. Namun mereka berkesimpulan bahwa "Hermata"
kemungkinan besar merupakan kesalahan baca atau penyalinan dari istilah lain,
bahkan mungkin sekadar bentuk korup dari “permata” atau nama tempat yang
disalahartikan para kartografer Eropa. Hermata dalam hal ini bukan entitas
geopolitik yang mapan, melainkan residu dari kabar yang tak utuh—disebut oleh
pelaut, ditulis oleh juru gambar, dan diwariskan sebagai jejak yang
membingungkan.
Dalam
artikel berbeda, A Shadowy State in Borneo: Where was Tanjungpura?,
Smith menggali lebih jauh soal Tanjung Pura. Ia menyebut nama itu sering muncul
dalam dokumen-dokumen Melayu dan Tionghoa, namun lokasinya tidak pernah pasti.
Ada yang menempatkannya di Langkat, Sumatra Utara, karena kedekatan dengan
Melayu Deli. Ada pula yang mengira ia berada di Karawang, berdasarkan
terjemahan Inggris atas Malay Annals oleh Leyden yang menyebut pelayaran
ke selatan. Beberapa pendapat lain menunjuk ke Kalimantan Selatan, menafsirkan
bahwa Tanjung Pura adalah nama lama dari wilayah Negara Dipa atau Daha. Dan
hanya sebagian kecil yang menduga ia berada di Ketapang.
Smith
menuliskan bahwa Tanjung Pura adalah kerajaan yang disebut berkali-kali namun “terlalu
ringan untuk ditambatkan di satu lokasi”. Satu kali disebut di hulu sungai,
sekali lagi di pesisir, dan kadang tak muncul sama sekali dalam peta kolonial.
Ia menyimpulkan bahwa Tanjung Pura mungkin adalah “a shadowy state”—sebuah
negeri bayangan, yang hanya eksis dalam narasi, bukan dalam koordinat. Maka
muncul pertanyaan itu kembali: di manakah sebenarnya Tanjung Pura?
Dan di sinilah
saya berdiri, di tepian Sungai Pawan, mencoba meraba kembali nama yang menurut
saya tidak pernah hilang, hanya berubah cara dilihatnya.
Di tanah
ini, di mana Sungai Pawan mengalir dari Mendung Berangin hingga ke kuala
Tanjung Brie, ada banyak nama yang tak ada di peta, tapi disebut setiap hari.
Dulu, sungai ini disebut Sungai Matan Baru, saat pusat kerajaan pindah dari
hulu ke hilir di abad ke-18. Lalu disebut Sungai Kayong, karena anak sungainya
menjadi tempat didirikannya istana baru. Orang-orang menyebut kampung mereka Benua
Lambat, Kedondongan, Bengadong, bukan karena mereka membaca naskah, tapi karena
mereka tinggal dan meninggal di sana.
Saya
tidak tahu bagaimana menjawab peta yang tidak menyebut tempat tinggal kami.
Tapi saya tahu bahwa ketika Sultan Jamaluddin membangun istana di pertemuan
Sungai Pawan dan Kayong, ia menyebutnya Tanjong Pura. Ia tidak sedang memulai
sesuatu yang baru, tapi sedang menautkan kembali sesuatu yang sudah ada.
Dalam
kitab Negarakertagama, Tanjung Pura disebut sebagai Bakula Pura—kota
pohon Tanjung. Bukan tanjung daratan, tapi tanjung pohon. Dalam lidah kami,
kata “Tanjong” masih hidup. Tidak kami eja “Tanjung”, karena kami tidak
menunjuk bentuk tanah, tapi menunjuk pohon. Sebagaimana Ketapang, sebagaimana
Kedondong, sebagaimana Bakula.
Mungkin
apa yang mereka sebut Hermata adalah bunyi kabur dari Matan. Mungkin itu nama
yang mereka dengar dari pelaut, lalu mereka tulis dengan cara mereka sendiri.
Tapi kami tak menyebut Hermata. Kami menyebut Kayong, Pawan, Matan, dan Tanjong
Pura.
Nama itu
hidup di nisan. Ada yang bertarikh 1418 M, menghadap barat, memuat kalimat:
“semua yang bernyawa akan mati”. Ada yang berdiri tanpa tulisan, tapi setiap
malam dikunjungi orang. Nama itu hidup dalam cerita pindahnya istana dari
Indera Laya ke Matan Baru, dalam jejak perahu dari Sekusor ke Bengadong.
Saya
tidak ingin menyimpulkan apakah Tanjung Pura itu di sini atau di sana. Tapi
saya tahu bahwa ketika saya menyebut nama itu, orang tua saya mengangguk.
Mereka tahu tempatnya. Mereka menunjuk ke air. Dan saya menulis ini, bukan
untuk meyakinkan siapa-siapa, tapi hanya agar nama itu tetap disebut.
Dan jika
ada yang ingin mencari Tanjung Pura di peta, barangkali ia tidak akan
menemukannya. Tapi jika ia bersedia duduk sebentar di tepian Pawan, mendengar
angin dari hulu Keriau, dan bertanya pada orang yang diam di bawah pohon
Tapang, mungkin ia akan diberitahu.
Begitu
saja.
Bab VII Di Antara Nama yang Tinggal dan Nama yang Luruh
Kita
telah menyusuri peta, menimbang bunyi, mendengar gelombang lidah tua. Kita
telah melihat bagaimana nama-nama kerajaan dipindahkan, dibelah, dan kadang
dilupakan. Tapi sebagaimana pohon tak pernah bertanya siapa yang menamainya,
begitu juga dengan tanah ini: ia tetap menumbuhkan sejarah, bahkan saat tak ada
yang menyebutnya lagi.
Nama Tanjung
Pura mungkin hanya beberapa kali tercetak rapi dalam peta kolonial. Tapi ia
hidup di langit-langit rumah panggung, dalam doa yang dipanjatkan di bawah
kubah surau tua. Ia bersemayam di balik gelar “Marhum Tanjung Pura”, di gelar yang
tak ramai, tapi tak pernah sepi dari langkah kaki.
Sungai
Pawan tetap mengalir, seperti waktu. Ia tak menuntut pengakuan. Ia hanya terus
membawa sisa daun, potongan rakit, dan ingatan yang tercecer. Di sepanjang
tepianya, nama-nama seperti Benua Lambat, Natai Kemuning, Bengadong, dan
Sekusor bukan sekadar toponimi. Mereka adalah penanda, bahwa dahulu pernah ada
orang yang memilih tinggal, dan memberi nama bukan untuk menguasai, tapi untuk
mengenang.
Dan
mungkin, sejarah terbaik bukan yang tercatat, melainkan yang tetap diucapkan
perlahan, seperti saat menyebut nama orang yang kita rindukan.
Saya
menulis semua ini bukan untuk menggugat sejarah orang lain, bukan pula untuk
meletakkan mahkota pada kepala siapa pun. Saya hanya menaruh catatan kecil di
tepi aliran, agar siapa pun yang melintas tahu, bahwa di sini, di pinggiran
barat Kalimantan, di tempat di mana sungai tak pernah kering, pernah ada nama
yang disebut dengan sepenuh hati.
Nama itu: Tanjung Pura.
Daftar Pustaka (Format APA7)
Smith, A. G., & Smith, B. J. (2011). What really was the Kingdom of Hermata in West Borneo? Unpublished manuscript.
Retrieved from https://www.academia.edu/3341574
Smith, A. G. (n.d.). A shadowy state in Borneo: Where was Tanjungpura?
Retrieved from https://www.academia.edu/3341563
Prapañca. (1365/1974). Negarakertagama (Slametmuljana, Ed. & Trans.). Jakarta: Bhratara.
Leyden, J. (Trans.). (1821). Malay Annals (Sulalatus Salatin). London: Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown.
Raja Ali Haji. (1865). Silsilah Raja-Raja Melayu dan Bugis. Pulau Penyengat: Istana Riau-Lingga.
Müller, G. (1846). Reise auf der westküste von Borneo im jahre 1826. Verhandlungen der Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.