Sejarah Kerajaan Tanjungpura Sebuah Catatan Agus Kurniawan

Daftar Isi

 

I. Dari Dondongan ke Pawan; Legenda dan Bukti Kartografi



Pawan, nama yang menyusur lembut dalam tiap arusnya, menyimpan gema yang lebih tua daripada yang sekadar tercetak dalam peta-peta buatan tangan kolonial. Bila kita dengarkan dengan saksama, dalam arusnya mengalir sebuah asal muasal yang bukan hanya soal geografi, tetapi tentang ruh suatu negeri. Dalam akar katanya, “Pawan” dekat dengan tutur Sansekerta “Pavana” atau “Pawana”, yang berarti angin. Dan seperti angin, ia tidak kelihatan namun terasa. Seperti sejarah negeri ini, yang tak banyak tercatat, tapi membekas dalam ingatan kolektif penduduk di sepanjang bantaran sungainya.

Di hulu Sungai Pawan, terdapat anak sungai bernama Keriau. Di sanalah, menurut banyak tutur yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, berdiri Gunung Mendung Berangin. Sebuah nama yang seolah-olah menjadi stempel alam untuk menegaskan asal dari kata Pawan itu sendiri: Mendung yang membawa angin, awan yang berserak lalu turun ke dalam air. Di kaki gunung itulah dipercaya terdapat mata air pertama yang mengalir menjadi Sungai Pawan. Namun bukan sekadar air yang mengalir. Di baliknya, ada kisah tua—kisah pohon Kedondong Raksasa yang tumbang, menyayat tanah purba, membuka jalur air yang kemudian menjadi sungai. Bukan dongeng. Ini simbol. Sebab pohon kedondong yang tumbang itu adalah lambang dari keruntuhan suatu kekuasaan, dan sungai yang lahir dari luka tanah itu adalah lambang dari peradaban baru yang mengalir di atas puing-puing sejarah.

Bila kita membuka lembar-lembar peta tua dari abad ke-17 dan 18, kita akan temukan nama-nama yang mendekati cerita rakyat itu. Di sana, tidak tertulis Sungai Pawan, tetapi justru nama “Dondongan” muncul di beberapa tempat di sepanjang aliran sungai. Dondongan, negeri yang mengingatkan kita pada buah Kedondong, yang bagi orang Melayu Kalimantan adalah buah yang tak hanya dikunyah, tapi dijadikan perlambang: pahit di kulit, asam di isi, namun menyegarkan setelah ditelan. Negeri Dondongan dalam peta itu mungkin adalah cerminan nyata dari legenda pohon Kedondong Raksasa. Ia pernah berdiri, lalu tumbang. Dan di tanah retak yang ditinggalkannya, mengalir sungai bernama Pawan.

Namun, nama Pawan bukanlah satu-satunya yang pernah disematkan pada aliran besar ini. Pada masa-masa sebelumnya, sungai yang sama juga dikenal dengan nama Sungai Matan Baru, terutama ketika Kesultanan Matan memindahkan pusat pemerintahannya ke hulu sungai pada abad ke-18. Nama ini muncul dalam berbagai dokumen dan peta kolonial, mencerminkan identitas kerajaan yang berpindah namun tetap setia pada sungai yang sama. Selain itu, bagian hilirnya juga pernah dikenal sebagai Sungai Kayong, karena di sanalah bermuara sebuah anak sungai bernama Kayong yang menjadi tempat berdirinya ibu kota Matan pada kurun abad ke-19. Maka dari itu, nama Pawan bisa dikatakan lahir sebagai sintesis dari sejarah panjang migrasi dan transformasi kekuasaan.

Bukti itu menjadi makin nyata ketika kita menelusuri peta buatan US Army tahun 1944. Dalam peta tersebut, wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Ketapang Besar diapit oleh dua sungai yang disebut sebagai Sungai Ketapang dan Sungai Kandang Kerbau. Anehnya, Sungai Pawan tak tampak sama sekali pada bagian hilir. Nama itu baru muncul setelah kedua sungai tersebut bertemu di satu simpul air yang oleh orang tua-tua disebut Simpang Sentap, atau Kepala Pulau. Barulah setelah persatuan itu, mengalir nama: Sungai Pawan. Seolah-olah nama itu tak lahir dari satu muara, tapi dari pertemuan, dari percampuran air dan sejarah, dari perbincangan antara dua arus yang berbeda.

Ini membuat kita bertanya: adakah Pawan itu benar-benar nama tua, atau nama baru untuk sesuatu yang lama? Jika ia baru, mengapa terasa begitu akrab? Jika ia tua, mengapa tak tercatat dalam peta sebelum-sebelumnya? Di sinilah pentingnya memahami peta bukan hanya sebagai representasi wilayah, tapi juga alat kekuasaan. Peta kolonial tak mencatat yang tidak mereka perlukan. Yang mereka lihat bukanlah yang hidup dalam tutur masyarakat, tetapi yang penting bagi pelayaran dan logistik. Maka, Pawan yang sesungguhnya adalah nama yang hidup dalam mulut rakyat, dalam doa petani air, dalam seruan nelayan muara, bukan dalam catatan surveyor asing.

Namun, meski begitu, peta tetap berguna. Ia menjadi alat untuk membuktikan bahwa tempat yang disebut masyarakat sebagai Dondongan memang pernah ada dan diakui dalam kartografi kolonial. Dan Dondongan ini bukan tempat sembarangan. Ia disebutkan berulang dalam peta-peta Portugis, Belanda, hingga Inggris. Ia berdiri di antara percabangan sungai, tempat yang strategis untuk menjadi pusat kekuasaan. Maka bukan mustahil jika dahulu, di tanah ini, berdiri sebuah kerajaan tua bernama Dondongan, yang kemudian tumbang, lalu lahir kekuasaan baru di atas namanya yang tenggelam—seperti Sungai Pawan yang mengalir di atas akar pohon purba.

Penting pula kita sadari, dalam budaya Melayu, sungai bukan sekadar aliran air, tetapi jalan. Jalan raja, jalan dagang, jalan ilmu, bahkan jalan asal usul. Maka nama sungai adalah nama sejarah. Nama yang mengikat masa lalu dengan masa kini. Dan bila kita menyebut Pawan hari ini, sejatinya kita sedang menyebut juga Dondongan, Kedondong Raksasa, Simpang Sentap, Gunung Mendung Berangin, dan semua kisah yang tak tertulis tapi hidup dalam denyut airnya.

Sejarah tidak selalu ditemukan di dalam buku. Kadang, ia mengalir dalam air. Kadang, ia bergema dalam nama yang kita ucapkan sehari-hari. Dan Sungai Pawan adalah saksi paling setia dari segala sesuatu yang tak ingin dilupakan oleh tanah Ketapang.

II. Moyang di Hulu: Tuk Upui, Datu, dan Nek

Di hulu sungai, sejarah tak selalu bersuara. Ia lebih sering berbisik lewat nama-nama tempat dan cerita tua yang dituturkan di serambi rumah, di tepian api unggun, atau dalam doa orang-orang tua kepada cucunya. Salah satunya adalah nama Natai Kemuning. Terletak di tepian kanan Sungai Pawan bagian hulu, tempat itu diyakini sebagai pemukiman pertama manusia di Tanah Kayong. Dari sanalah nama-nama legendaris itu muncul: Tuk Upui, Tuk Ubut, Nek Doyan, dan Nek Takon.

Mereka bukan sekadar tokoh dongeng atau penghuni hikayat setengah nyata. Mereka adalah penanda hadirnya gelombang peradaban awal yang menjejak di tanah ini, jauh sebelum catatan kolonial menulis “Pawan”, “Matan”, bahkan “Ketapang”. Nama-nama itu adalah kode budaya. Tuk, Nek, dan Datu bukan sapaan biasa. Dalam bahasa warisan Austronesia dan rumpun Melayu-Polinesia, istilah itu bisa diartikan sebagai “yang dituakan”, “yang mengasuh”, atau “yang memimpin”. Tuk Upui bisa dibaca sebagai ‘lelaki sulung pendiri’, Tuk Ubut sebagai ‘patih awal’, dan Nek Takon sebagai penjaga pelabuhan laut. Sedangkan Nek Doyan, perempuan bijak di hulu Siduk, menjadi pertanda bahwa perempuan memegang peran kunci dalam sistem awal di wilayah ini—sebuah hal yang selaras dengan temuan antropologi mutakhir.

Dalam teori genetik dan arkeologi terkini, terutama yang dikemukakan oleh Pugach et al. (2013) dan Majumder (2019), nenek moyang orang Nusantara terdiri dari dua gelombang besar: pertama adalah kelompok migrasi prasejarah dari Taiwan (Austronesia), dan yang kedua adalah kelompok lebih tua dari daratan Asia Tenggara (Papuan-Australoid). Teori “dual structure” ini mengakui bahwa orang-orang yang mendiami Kalimantan, khususnya wilayah pesisir dan hulu sungai, adalah hasil percampuran yang kompleks antara pelaut Austronesia dan penghuni lama benua Sunda. Maka tak heran bila di Ketapang hari ini kita mengenal keberadaan tiga suku besar: Suku Hulu, Suku Laut, dan Suku Darat—yang jika dilihat lebih dalam, adalah jejak dari percampuran itu sendiri.

Cerita tentang Tuk Upui dan Nek Doyan, oleh karena itu, bukan hanya legenda. Ia bisa ditafsirkan sebagai ingatan kolektif tentang gelombang peradaban awal. Tuk Ubut disebut pernah singgah di Sukadana, lalu naik ke Natai Kemuning. Gelarnya saat itu masih Patih. Ini penting, karena gelar Patih merupakan jabatan administratif tinggi dalam struktur kerajaan, biasanya diberikan kepada tokoh migran yang dipercaya oleh pemimpin lokal. Dari sini kita bisa mencium satu pola: para leluhur yang disebut dalam cerita rakyat adalah tokoh-tokoh transisi dari masa komunitas berburu–meramu ke masa pertanian menetap dan perdagangan sungai.

Nama “Nek” juga memuat lapisan makna yang dalam. Dalam sejarah Sambas, penguasa pra-Islamnya pun bergelar Nek—Nek Riuh. Gelar ini tak lagi muncul di era Islamisasi, digantikan dengan gelar Sultan atau Panembahan. Artinya, gelar Nek dan Datu adalah peninggalan dari zaman sebelum dakwah Islam masuk ke tanah Borneo. Zaman ketika kepercayaan lokal, animisme, dan kekuasaan berbasis kesepakatan adat menjadi fondasi tatanan sosial. Dalam konteks itu, Datu bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pemangku ilmu dan penjaga hukum alam.

Di wilayah Sukadana, nama Ne’ Takon muncul sebagai pengawas pelabuhan awal, tempat di mana kapal-kapal laut dari utara dan barat berlabuh, jauh sebelum ada bandar besar di muara Sungai Pawan. Di hulu Siduk, ada Nek Doyan—yang bila ditafsir berdasarkan kondisi geografi dan ekonomi setempat—menunjukkan bahwa Siduk dulunya adalah pelabuhan penting penghasil emas. Emas yang dikeruk dari perut bumi Kalimantan lalu dibawa menyusur sungai hingga ke pelabuhan luar. Bukti ini diperkuat oleh temuan emas dan manik-manik kuno di beberapa lokasi di Hulu Sungai Pawan dan Siduk, yang diduga berasal dari masa awal perdagangan maritim antara Melayu, India, dan Tiongkok.

Bahkan jejak bahasa Kayong pun mendukung hal ini. Dalam logat Melayu Kayong, terdapat banyak kata yang memiliki akar Austronesia yang masih hidup. Kata “natai” sendiri misalnya, berarti dataran rendah berair di sekitar sungai—yang dalam beberapa dialek Dayak disebut juga sebagai “banua”. Keduanya, natai dan banua, mengacu pada konsep “tempat hidup yang lestari”, tempat masyarakat bisa menetap, bercocok tanam, dan memulai kehidupan bersama. Natai Kemuning bukan hanya tempat, ia adalah simbol peralihan dari gelombang pemburu menjadi bangsa berladang dan berdagang.

Maka ketika kita bicara Tuk Upui dan kawan-kawannya, kita sedang membaca semacam manuskrip hidup. Mereka adalah ingatan tentang perpindahan, penyesuaian, dan kesepakatan. Dalam tubuh keturunan mereka, mengalir darah Austronesia, tetapi juga roh tanah tua. Mereka yang membuka hutan, merakit rakit, menanam kemuning dan kelapa, menggali emas, dan menanam bahasa dalam sebutan Datu dan Nek. Mereka adalah nenek moyang, yang dalam kisahnya kita temukan identitas, bahkan sebelum negara bernama Indonesia itu sendiri lahir.

III. Jejak Hindu di Benua Lama dan Pelabuhan di Selat Karimata

Di seberang Ketapang Besar, berdirilah Benua Lama. Nama ini tidak sekadar toponimi. Ia adalah pernyataan waktu, sebuah isyarat tentang masa lalu yang pernah mengakar di sana. Orang-orang tua menyebutnya tempat candi tua. Di sanalah, reruntuhan batu berserakan di tanah merah, ditutupi lumut dan ilalang, menjadi saksi diam dari sebuah zaman yang terlupa: zaman ketika peradaban Hindu menjejak di tepi Sungai Pawan.

Banyak yang mengira Kalimantan Barat hanyalah wilayah peralihan dalam peta maritim kuno. Tapi mereka keliru. Di antara ribuan pulau di Nusantara, daerah ini justru berada di tengah lalu lintas strategis: Selat Karimata. Selat ini adalah gerbang dari jalur dagang antara India, Cina, dan Kepulauan Rempah di timur. Ia menghubungkan Laut Cina Selatan dengan Laut Jawa. Maka siapa yang menguasai jalur ini, dialah yang menguasai nadi perdagangan dunia kuno.

Namun Selat Karimata bukan tempat yang ramah. Angin barat yang datang di bulan-bulan tertentu membawa badai besar. Kapal dagang dari Gujarat, Bengal, atau Hainan akan menepi, mencari perteduhan di pelabuhan-pelabuhan kecil di sepanjang pantai barat Kalimantan. Dan Ketapang, dengan muara sungainya yang bercabang, memberikan tempat aman yang tak dimiliki banyak wilayah lain. Bahkan lanun—para perompak laut—sulit mengejar kapal di sungai yang cabangnya bercabang dan arusnya berliku-liku seperti Pawan dan anak-anak sungainya. Maka muncullah bandar-bandar kecil di sepanjang sungai ini.

Benua Lama bukan hanya tempat tinggal, ia adalah kota. Kota dengan candi. Dan candi bukan didirikan di sembarang tempat. Dalam kosmologi Hindu, candi adalah poros antara langit dan bumi. Ia harus berdiri di titik yang dianggap sakral, dekat air, di tengah pusat kekuasaan. Maka ketika kita temukan candi bercorak Hindu di Benua Lama, itu pertanda bahwa di sana pernah berdiri pusat pemerintahan yang memiliki pengetahuan tinggi akan spiritualitas, seni bangunan, dan hubungan dengan India atau Jawa.

Jika kita telusuri lebih jauh, keberadaan candi ini selaras dengan pola penyebaran budaya Hindu di Nusantara. Candi-candi awal seringkali tidak sebesar Borobudur atau Prambanan, tetapi lebih mirip dengan struktur-struktur kecil seperti Candi Batujaya di Karawang atau situs Air Sugihan di Sumatera Selatan. Mereka lebih tua, lebih sederhana, namun menjadi dasar dari pengaruh besar yang berkembang kemudian. Dan jejak seperti itu kita temukan di tepian Sungai Pawan.

Hubungan Ketapang dengan dunia Hindu juga tersirat dari gelar-gelar raja yang muncul dalam legenda dan hikayat. Sebelum memakai gelar Sultan, raja-raja awal Kayong disebut Prabu. Ada pula sebutan Maha Raja, sebagaimana tercatat dalam legenda Prabu Jaya. Ini bukan kebetulan. Gelar-gelar ini memiliki akar dalam sistem kerajaan Hindu di Jawa Timur dan India Selatan. Bahkan dalam silsilah yang dikisahkan turun-temurun, Prabu Jaya disebut sebagai anak raja dari Majapahit. Apakah ini hanya kisah fiksi? Tidak semudah itu disingkirkan. Dalam tradisi Melayu, legenda adalah cara rakyat menyimpan sejarah dalam bentuk yang bisa dinyanyikan dan diingat.

Ketika Gajah Mada bersumpah untuk tidak akan makan palapa sebelum menaklukkan seluruh Nusantara, salah satu nama yang disebut dalam daftar penaklukannya adalah Tanjungpura. Ini tercatat dalam Kakawin Nagarakretagama, pupuh 14. Artinya, pada abad ke-14, Tanjungpura—yang hari ini kita yakini sebagai Ketapang—dianggap penting oleh kerajaan terbesar di Nusantara waktu itu. Ia bukan sekadar titik peta, tapi wilayah strategis yang wajib ditaklukkan untuk menyempurnakan imperium.

Mengapa Gajah Mada begitu ingin Tanjungpura? Karena ia tahu, kekuatan Majapahit tak akan lengkap tanpa menguasai jalur laut Karimata. Di sinilah teori geopolitik klasik bermain: kontrol atas laut adalah kontrol atas dunia. Dan Ketapang adalah pelabuhan antara. Pelabuhan transisi antara India dan Cina, antara Jawa dan Borneo bagian utara. Ia adalah tempat sandar, tempat tukar, tempat bertemu.

Para saudagar dari Gujarat membawa kain dan rempah. Dari Cina datang keramik dan logam. Dari pedalaman Kalimantan dibawa emas, damar, rotan, dan kayu ulin. Di bandar Ketapang itulah semua bertukar. Maka berdirilah struktur-struktur pelindung dagang dan tempat ibadah spiritual mereka: candi, pelabuhan kayu, balai perundingan. Jejaknya mungkin telah terkubur lumpur sungai dan rumah penduduk modern, tapi serpihan sejarahnya masih berserak di cerita orang tua, di ukiran di nisan tua, dan dalam artefak yang terkadang muncul saat menggali pondasi.

Dalam peta pelayaran Eropa abad ke-17, Ketapang ditandai sebagai Catapangen—kampung besar di muara sungai. Namanya mungkin berubah, tapi fungsinya tetap: pelabuhan penghubung. Dan di balik semua itu, berdiri Benua Lama, seperti bayang-bayang yang menanti untuk diingat kembali.

Benua Lama bukan hanya tempat tua. Ia adalah sumber segala jejak. Sebab peradaban selalu lahir dari air—dan dari candi di tepiannya.

IV. Islam Tua di Negeri Baru dan Nisan-Nisan Berbicara

Di atas tanah yang basah oleh kenangan dan desir angin dari Sungai Pawan, berdiri sebuah pemakaman yang sunyi tapi tak pernah betul-betul diam. Masyarakat menyebutnya Keramat Tujuh, sebagian lagi menyebutnya Keramat Sembilan. Tapi jika dihitung satu per satu, nisan-nisan di sana jauh lebih banyak dari jumlah yang tertulis dalam nama-nama itu. Dan di antara mereka, berdirilah beberapa batu tua yang kerap diabaikan, ditutupi lumut dan debu sejarah, tapi sesungguhnya adalah suara pertama yang menyatakan: “Islam telah sampai di tanah ini jauh lebih awal dari yang kau duga.”

Salah satu nisan itu memuat angka yang menggetarkan: 1418 Masehi. Itu berarti, Islam telah bertapak di bumi Ketapang saat Majapahit masih tegak, saat Malaka baru akan menyusun sistem dagang dan pelabuhan, dan bahkan sebelum Demak menyebut dirinya sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Nisan itu menjadi bukti, bahwa negeri ini tidak datang terlambat dalam arus Islamisasi. Ia bahkan lebih dulu daripada banyak negeri yang hari ini merasa lebih tua dalam urusan agama.

Tapi nisan tak hanya bicara tentang waktu. Ia bicara tentang cara pandang. Lihatlah pada bentuknya: batu pipih yang berdiri tanpa ukiran mewah, tapi dengan tulisan Arab yang bersahaja. Di salah satu nisan itu, tertulis: “Kullu nafsin dza’ikatul maut”—Setiap yang bernyawa pasti mati. Ini bukan sekadar pesan akhirat. Ini pesan politik. Pesan untuk penerus, agar jangan menyalahgunakan kuasa. Bahwa segala raja akan berlalu. Bahwa dunia hanya tempat singgah.

Sebagian peneliti menyebut nisan-nisan itu sebagai makam ulama pendatang. Yang lain menduganya sebagai tempat peristirahatan raja yang telah masuk Islam, tapi belum menjadikan Islam sebagai sistem resmi kerajaan. Di sinilah perdebatan menjadi menarik. Sebab, jika benar seorang raja dimakamkan di sana, maka berarti ada sebuah peradaban Islam tua yang diam-diam tumbuh di tepian Pawan, beriringan atau bahkan sebelum Sukadana menjadi pusat Islam yang terang-benderang.

Lokasi makam itu disebut Negeri Baru. Letaknya tidak jauh dari Benua Lama. Dua nama itu seolah-olah ditakdirkan berdampingan dalam narasi sejarah: satu mewakili masa Hindu, satu mewakili masa Islam. Tapi tak ada tanda-tanda bahwa keduanya saling menggantikan secara kasar. Tidak ada candi yang dihancurkan, tidak ada masjid yang menindih pura. Ini bukan revolusi. Ini transisi. Transisi budaya dan spiritual yang berjalan pelan-pelan, seperti aliran air Pawan saat surut.

Kita bisa membayangkan: mungkin mereka, para penyebar Islam awal, bukan datang dengan pedang atau pasukan, tetapi dengan dagang, dengan hikmah, dengan jubah dan kitab. Mungkin mereka berdagang di pelabuhan Dondongan, menetap di pinggir sungai, lalu menikah dengan penduduk lokal. Perlahan, ajaran Islam meresap ke dalam kehidupan, menjadi selendang dalam pakaian, menjadi lafaz dalam nasihat, menjadi arah dalam makam.

Ini sesuai dengan pola Islamisasi di Nusantara: melalui para pedagang dari Arab Selatan, Gujarat, bahkan Hadramaut. Melalui para penyebar yang disebut Syaikh Magribi, yang di banyak tempat diyakini datang dari negeri-negeri Islam klasik di Afrika Utara atau Asia Barat. Beberapa jejak menunjukkan kemungkinan bahwa komunitas Muslim awal di Ketapang memiliki hubungan dengan Kesultanan Samudera Pasai. Koneksi ini masuk akal, mengingat Pasai merupakan pelabuhan Islam pertama di Asia Tenggara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Mamluk Mesir dan kekhalifahan lain.

Jika benar ada hubungan antara Ketapang dan Pasai, maka itu menjelaskan bagaimana nisan bergaya Aceh bisa sampai di Pawan. Bahan batunya pun serupa dengan batu nisan tua yang ditemukan di Lamuri, Aceh Besar. Bentuknya khas: tinggi, ramping, dan bertulisan Arab klasik, biasanya dengan kaligrafi kufi atau naskhi awal. Ukiran yang jauh dari kemewahan, tapi justru karena itulah ia terasa agung.

Yang menarik, walau Islam sudah masuk di abad ke-15, ia belum serta merta menjadi agama negara. Peradaban yang dibentuk Prabu Jaya dan penerusnya masih bercorak Hindu-Jawa. Ini menunjukkan bahwa pada masa awal Islamisasi, spiritualitas dan politik belum selalu berjalan beriringan. Raja mungkin memeluk Islam, tapi sistem kerajaannya masih berakar pada Majapahit. Baru kemudian, saat Panembahan Giri Kusuma berkuasa, Islam benar-benar menjadi dasar kekuasaan dan hukum. Tapi itu cerita lain, di bagian berikutnya.

Kembali ke nisan-nisan tadi. Mereka mungkin diam. Tapi di dalam diamnya, mereka berbicara jauh lebih lantang dari teks buku pelajaran sejarah. Mereka menyatakan bahwa negeri ini, yang sering dianggap pinggiran, sebenarnya telah berada di arus utama sejarah dunia Islam. Bahwa Ketapang bukan hanya menyambut Islam—tapi menyimpannya dalam tanah, dalam batu, dan dalam sebutir doa yang dibisikkan setiap orang yang menabur bunga di atasnya.

Sejarah tidak selalu ditulis dengan tinta. Kadang ia digurat di batu, dan kadang ia diucapkan dalam ziarah.

V. Kota yang Bernama Ketapang – Dari Catapangen ke Bengadong (Pra Kolonial)

Ketapang tidak lahir dari mimpi pejabat kolonial, bukan pula hasil rekayasa administratif. Ia tumbuh dari tepi sungai yang terus-menerus dilalui, dari tambatan rakit-rakit pedagang, dari sebutir benih pohon Tapang yang menjulang dan meneduhi para pelintas arus. Ia bukan kota yang dibuat, tetapi kota yang tumbuh—sebagaimana pohon yang mendapat cukup air dan akar sejarah yang kuat.

Sebelum nama “Ketapang” dikenal seperti hari ini, pelaut-pelaut Eropa mencatat wilayah ini sebagai Catapangen. Nama itu muncul dalam peta tahun 1728 yang disimpan di Perpustakaan Nasional Singapura. Peta tersebut bukan sembarang peta; ia adalah catatan niaga dan pelayaran yang memetakan jalur strategis Asia Tenggara. Dari situlah kita tahu, bahwa lebih dari seabad sebelum Panembahan Sabran memerintah, Catapangen telah dikenal sebagai bandar tempat kapal-kapal singgah, berlabuh, dan bertukar barang.

Boleh jadi, Catapangen adalah sebutan asing atas komunitas pesisir yang mulai menetap di muara Sungai Pawan—komunitas yang lahir dari hubungan dagang antara orang Melayu, Dayak Hulu, dan pedagang Tionghoa. Pusat permukimannya mungkin masih sederhana: rumah panggung di tepi sungai, kebun nipah, dan dermaga rakit. Namun fungsinya sangat penting. Ia adalah pelabuhan perantara antara hulu dan hilir, antara gunung dan lautan.

Menurut penuturan lisan yang hidup dalam masyarakat, nama Ketapang sendiri berasal dari pohon Tapang, tempat seorang punggawa kerajaan biasa menambatkan perahunya saat berpatroli menjaga kuala. Pohon itu menjadi penanda. Dan seperti lazimnya budaya Melayu yang menamai suatu tempat dengan objek atau peristiwa, kawasan itu kemudian disebut sebagai tempat “ka-Tapang”—ke-Tapang—ke pohon Tapang itu.

Sumber sejarah dari Melayu Riau, seperti Silsilah Raja-Raja Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji, juga memberi petunjuk penting. Dalam kitab itu, Sungai Ketapang disebut sebagai pintu masuk kapal para Opu Daeng bersaudara dari Bugis yang hendak membantu konflik di Matan pada awal abad ke-18. Artinya, Ketapang sudah dianggap jalur penting pelayaran sebelum Kesultanan Matan pindah ke hulu.

Menariknya, setelah pemindahan pusat kerajaan dari Sukadana ke Indera Laya, dan kemudian ke kawasan Sungai Matan Baru (anak Sungai Pawan), Ketapang tetap menjadi titik yang dikunjungi. Dalam berbagai peta Belanda awal abad ke-19, nama “Ketapang” dan “Bengadong” muncul berdampingan. Ini menunjukkan bahwa wilayah tersebut bukan tempat sunyi, melainkan sudah menjadi kawasan penting: tempat peristirahatan, tempat tambat, tempat permukiman.

Bengadong sendiri patut dicermati. Dalam cerita rakyat Kayong, Bengadong diyakini sebagai kawasan lama dari Dondongan, negeri yang dahulu dikisahkan tumbuh besar lalu tumbang, dan dari reruntuhannya mengalir Sungai Pawan. Nama Bengadong mungkin berasal dari “Gedong” atau “Gedongan”—tempat kediaman agung. Bisa jadi, itu adalah bekas lokasi permukiman istana atau kediaman bangsawan dari masa kerajaan sebelum Islam. Sebuah lapisan yang menandakan bahwa sejarah Ketapang tidak tunggal, tapi berlapis.

Ada juga petunjuk dari Georg Müller, yang datang tahun 1822. Dalam catatannya, ia menyebut dua kampung utama di kanan hilir Sungai Pawan: Ketapang dan Begadong. Orang-orangnya disebut sebagai orang Melayu, dengan sebagian kecil Tionghoa yang mulai membuka kebun dan pertanian. Bahkan menurut Müller, Sungai ini dinamai Ketapang karena pohon-pohon Tapang yang berjejer rapi di sepanjang tepiannya. Sebuah pemandangan alam yang membentuk nama dan kemudian menjadi identitas.

Namun yang tak kalah penting: Ketapang bukan sekadar nama tempat. Ia adalah penanda aliran peradaban. Ia menjadi jalur yang menghubungkan pusat pemerintahan di hulu dengan dunia luar. Ia menjadi simpul dari arus barang, orang, dan gagasan. Dan walau pusat kerajaan berpindah-pindah—dari Natai Kemuning ke Sukadana, lalu ke Indera Laya, hingga ke Mulia Kerta—Ketapang tetap menjadi tepi yang ramai, seperti galur darah yang mengalir diam-diam tapi menghidupi seluruh tubuh.

Sebelum 1828, Ketapang adalah wajah perbatasan yang tenang namun penuh siasat. Ia bukan kota istana, tetapi ia adalah kota lintas. Kota tempat orang datang, menunggu, menimbang arah. Ia adalah dermaga keputusan. Di sanalah nisan Islam tua ditemukan. Di sanalah dagang Tionghoa dan emas Dayak berpadu. Dan di sanalah, dari pohon Tapang yang ditambatkan oleh punggawa, lahirlah nama yang hari ini menjadi identitas sebuah kabupaten besar: Ketapang.

Bab VI Tanjung Pura: Menyusuri Kabut Nama dari Peta ke Sungai

Dalam sejarah Melayu, ada nama-nama yang gemetar panjang di antara nisan dan sungai, di antara kitab dan kabar angin. Salah satu yang paling sering disebut, dan paling sering pula disangsikan, adalah Tanjung Pura. Nama itu hidup dalam banyak hikayat, tapi keberadaannya selalu dikelilingi kabut. Ia disebut dalam Sulalatus Salatin, dalam catatan Tionghoa abad pertengahan, bahkan dalam Kakawin Negarakertagama. Tapi ketika para peneliti mencoba menaruh jari mereka di peta, Tanjung Pura kerap berubah tempat, atau hilang sama sekali.

Penelitian Smith dan Smith (2011), misalnya, mencermati kemunculan kata “Hermata” dalam beberapa peta pelayaran abad ke-17 hingga 18, yang diyakini mewakili pusat kekuasaan di pesisir barat Kalimantan. Namun mereka berkesimpulan bahwa "Hermata" kemungkinan besar merupakan kesalahan baca atau penyalinan dari istilah lain, bahkan mungkin sekadar bentuk korup dari “permata” atau nama tempat yang disalahartikan para kartografer Eropa. Hermata dalam hal ini bukan entitas geopolitik yang mapan, melainkan residu dari kabar yang tak utuh—disebut oleh pelaut, ditulis oleh juru gambar, dan diwariskan sebagai jejak yang membingungkan.

Dalam artikel berbeda, A Shadowy State in Borneo: Where was Tanjungpura?, Smith menggali lebih jauh soal Tanjung Pura. Ia menyebut nama itu sering muncul dalam dokumen-dokumen Melayu dan Tionghoa, namun lokasinya tidak pernah pasti. Ada yang menempatkannya di Langkat, Sumatra Utara, karena kedekatan dengan Melayu Deli. Ada pula yang mengira ia berada di Karawang, berdasarkan terjemahan Inggris atas Malay Annals oleh Leyden yang menyebut pelayaran ke selatan. Beberapa pendapat lain menunjuk ke Kalimantan Selatan, menafsirkan bahwa Tanjung Pura adalah nama lama dari wilayah Negara Dipa atau Daha. Dan hanya sebagian kecil yang menduga ia berada di Ketapang.

Smith menuliskan bahwa Tanjung Pura adalah kerajaan yang disebut berkali-kali namun “terlalu ringan untuk ditambatkan di satu lokasi”. Satu kali disebut di hulu sungai, sekali lagi di pesisir, dan kadang tak muncul sama sekali dalam peta kolonial. Ia menyimpulkan bahwa Tanjung Pura mungkin adalah “a shadowy state”—sebuah negeri bayangan, yang hanya eksis dalam narasi, bukan dalam koordinat. Maka muncul pertanyaan itu kembali: di manakah sebenarnya Tanjung Pura?

Dan di sinilah saya berdiri, di tepian Sungai Pawan, mencoba meraba kembali nama yang menurut saya tidak pernah hilang, hanya berubah cara dilihatnya.

Di tanah ini, di mana Sungai Pawan mengalir dari Mendung Berangin hingga ke kuala Tanjung Brie, ada banyak nama yang tak ada di peta, tapi disebut setiap hari. Dulu, sungai ini disebut Sungai Matan Baru, saat pusat kerajaan pindah dari hulu ke hilir di abad ke-18. Lalu disebut Sungai Kayong, karena anak sungainya menjadi tempat didirikannya istana baru. Orang-orang menyebut kampung mereka Benua Lambat, Kedondongan, Bengadong, bukan karena mereka membaca naskah, tapi karena mereka tinggal dan meninggal di sana.

Saya tidak tahu bagaimana menjawab peta yang tidak menyebut tempat tinggal kami. Tapi saya tahu bahwa ketika Sultan Jamaluddin membangun istana di pertemuan Sungai Pawan dan Kayong, ia menyebutnya Tanjong Pura. Ia tidak sedang memulai sesuatu yang baru, tapi sedang menautkan kembali sesuatu yang sudah ada.

Dalam kitab Negarakertagama, Tanjung Pura disebut sebagai Bakula Pura—kota pohon Tanjung. Bukan tanjung daratan, tapi tanjung pohon. Dalam lidah kami, kata “Tanjong” masih hidup. Tidak kami eja “Tanjung”, karena kami tidak menunjuk bentuk tanah, tapi menunjuk pohon. Sebagaimana Ketapang, sebagaimana Kedondong, sebagaimana Bakula.

Mungkin apa yang mereka sebut Hermata adalah bunyi kabur dari Matan. Mungkin itu nama yang mereka dengar dari pelaut, lalu mereka tulis dengan cara mereka sendiri. Tapi kami tak menyebut Hermata. Kami menyebut Kayong, Pawan, Matan, dan Tanjong Pura.

Nama itu hidup di nisan. Ada yang bertarikh 1418 M, menghadap barat, memuat kalimat: “semua yang bernyawa akan mati”. Ada yang berdiri tanpa tulisan, tapi setiap malam dikunjungi orang. Nama itu hidup dalam cerita pindahnya istana dari Indera Laya ke Matan Baru, dalam jejak perahu dari Sekusor ke Bengadong.

Saya tidak ingin menyimpulkan apakah Tanjung Pura itu di sini atau di sana. Tapi saya tahu bahwa ketika saya menyebut nama itu, orang tua saya mengangguk. Mereka tahu tempatnya. Mereka menunjuk ke air. Dan saya menulis ini, bukan untuk meyakinkan siapa-siapa, tapi hanya agar nama itu tetap disebut.

Dan jika ada yang ingin mencari Tanjung Pura di peta, barangkali ia tidak akan menemukannya. Tapi jika ia bersedia duduk sebentar di tepian Pawan, mendengar angin dari hulu Keriau, dan bertanya pada orang yang diam di bawah pohon Tapang, mungkin ia akan diberitahu.

Begitu saja.

Bab VII Di Antara Nama yang Tinggal dan Nama yang Luruh

Kita telah menyusuri peta, menimbang bunyi, mendengar gelombang lidah tua. Kita telah melihat bagaimana nama-nama kerajaan dipindahkan, dibelah, dan kadang dilupakan. Tapi sebagaimana pohon tak pernah bertanya siapa yang menamainya, begitu juga dengan tanah ini: ia tetap menumbuhkan sejarah, bahkan saat tak ada yang menyebutnya lagi.

Nama Tanjung Pura mungkin hanya beberapa kali tercetak rapi dalam peta kolonial. Tapi ia hidup di langit-langit rumah panggung, dalam doa yang dipanjatkan di bawah kubah surau tua. Ia bersemayam di balik gelar “Marhum Tanjung Pura”, di gelar yang tak ramai, tapi tak pernah sepi dari langkah kaki.

Sungai Pawan tetap mengalir, seperti waktu. Ia tak menuntut pengakuan. Ia hanya terus membawa sisa daun, potongan rakit, dan ingatan yang tercecer. Di sepanjang tepianya, nama-nama seperti Benua Lambat, Natai Kemuning, Bengadong, dan Sekusor bukan sekadar toponimi. Mereka adalah penanda, bahwa dahulu pernah ada orang yang memilih tinggal, dan memberi nama bukan untuk menguasai, tapi untuk mengenang.

Dan mungkin, sejarah terbaik bukan yang tercatat, melainkan yang tetap diucapkan perlahan, seperti saat menyebut nama orang yang kita rindukan.

Saya menulis semua ini bukan untuk menggugat sejarah orang lain, bukan pula untuk meletakkan mahkota pada kepala siapa pun. Saya hanya menaruh catatan kecil di tepi aliran, agar siapa pun yang melintas tahu, bahwa di sini, di pinggiran barat Kalimantan, di tempat di mana sungai tak pernah kering, pernah ada nama yang disebut dengan sepenuh hati.

Nama itu: Tanjung Pura.

 

Daftar Pustaka (Format APA7)

Smith, A. G., & Smith, B. J. (2011). What really was the Kingdom of Hermata in West Borneo? Unpublished manuscript.
Retrieved from https://www.academia.edu/3341574

Smith, A. G. (n.d.). A shadowy state in Borneo: Where was Tanjungpura?
Retrieved from https://www.academia.edu/3341563

Prapañca. (1365/1974). Negarakertagama (Slametmuljana, Ed. & Trans.). Jakarta: Bhratara.

Leyden, J. (Trans.). (1821). Malay Annals (Sulalatus Salatin). London: Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown.

Raja Ali Haji. (1865). Silsilah Raja-Raja Melayu dan Bugis. Pulau Penyengat: Istana Riau-Lingga.

Müller, G. (1846). Reise auf der westküste von Borneo im jahre 1826. Verhandlungen der Gesellschaft für Erdkunde zu Berlin.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-4). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Postingan Populer