Pangeran Agung, Sang Iranata Putra
Muller, utusan Hindia Belanda yang diutus bertemu Sultan Djamaluddin di Istana Panembahan Simpang dan kemudian ikut pulang ke Istana Peristirahatan Sultan Djamaluddin di Begadong di tepian sungai Ketapang pada 1822 menulis keterangan tentang Pangeran Agung.
Pangeran Agong itu, tulis Muller, adalah seorang Putra dari Saudara Sultan sebelum Sultan Muhammad Zainuddin yakni Sultan Syafiuddin.
Catatan Muller merupakan versi tertua untuk silsilah Matan yang kita dapatkan setakat ini. Sultan Syafiuddin adalah Paman dari Pangeran Agung. Bagaimanapun kemenakan dalam istiadat melayu sudah dianggap anak sendiri. Maka wajar, dalam kitab hikayat Daeng Menambon yang dikutip oleh Raja Ali Haji, Pangeran Agung disebut anak Sultan Syafiuddin.
Sultan Syafiuddin dalam catatan Muller merupakan gelar dari Giri Mustaka Panembahan di Melie anak Panembahan di Giri Kusuma, maka ayah Pangeran Agung yang saudara sang Sultan-pun juga adalah anak dari Panembahan di Giri Kusuma. Siapa dia? Dalam cerita rakyat dia disebut Pangeran Iranata.
Tampaknya Pangeran Iranata bukan 'lari' dari Matan melainkan sengaja ditempat tugaskan sebagai pelanjut kekuasaan di batang Pawan, tempat Negeri lama Tanjung Pura berada. Melihat dari gelarnya, dia sesungguhnya seorang Raja juga, walau raja bawahan Matan, sebagaimana Panembahan di Simpang.
Sang Iranata, Raja di Negeri Lama; Tanjung Pura. Di bawah kepemimpinannya, Tanjung Pura atau Taman Pura yang dahulu merupakan kota pelabuhan terbuka antar bangsa, menjadi negeri tertutup untuk kemudian hilang dari peta - peta pelayaran bangsa eropa.
Masih dari catatan Muller, Pangeran Agung tampaknya merasa berhak menggantikan Sultan Syafiuddin di Matan karena Pangeran Ratu anak Sultan Syafiuddin meninggal dunia terlebih dahulu dari Sultan. Seharusnya jabatan Pangeran Ratu diserahkan kepadanya, bukan kepada anak Pangeran Ratu, Cucu Sang Sultan yang belum lagi akil baligh.
Namun Pangeran Agung diam menunggu, adat istiadat beraja yang dianut Kesultanan Matan tak mengizinkan. Hingga cucu Sang Sultan naik tahta bergelar Sultan Muhammad Zainuddin yang didukung Negeri Banjar. Dia terus diam, namun tak berhenti menyusun kekuatan dan menggalang dukungan para bangsawan dan kaum adat. Sampai kemudian Armada serangan Banten yang menolong Landak ke Sukadana membuat Sultan Zainuddin kehilangan pengaruhnya pada para bangsawan dan kaum adat.
Daeng Mataku, yang waktu kedatangannya bersamaan dengan armada Banten diambilnya sebagai menantu, dinikahkannya dengan anaknya paling tua; Ratu Melaya. Anak kedua; Utin Raki dinikahkan kepada Haji Hafiz nan sakti. Dari anak ketiganya ia mendapat cucu yang menjadi Pangeran Marta di Matan, anak keempatnya Raden Segara bergelar Pangeran Pulau Jambu. Anak Kelima bernama Gusti Aris. Dan anak yang bungsu, mengambil gelar kakeknya, Pangeran Ira Nata yang kelak akan menurunkan Gusti Mursal, Sang Panembahan Padang di Tanjung Pura.
Kala dukungan telah genap dan harta benda untuk membeli kesetiaan prajurit serta biaya pertahanan telah lengkap, dia mengarahkan Daeng Mataku dan Haji Hafiz untuk bersiap. Di Bayangan dan Cali, para prajurit dilatih kanuragan ilmu asli tanah kayong dan bertempur cara bugis yang masa itu adalah cara bertempur yang tak mudah dikalahkan.
Para keturunan Si Bogal, yang menyimpan perawakan Sang Iranata yang tinggi besar dan kesaktian pilih tanding yang berdiam diri mulai dari kaki Gunung Sembelangaan hingga Kampung Mayak unjuk diri dengan menjadi pasukan Inti Pangeran Agung, selain para prajurit Bugis.
Masa itu pada akhirnya tiba, Pangeran Agung rupa - rupanya tak perlu keluar dari Sungai Pawan untuk menyerang kedudukan Sultan di Matan. Sultan Muhammad Zainuddin sendirilah yang datang padanya.
(bersambung)