Pembalasan Sang Nabo (Kisah dari Ulu Aik; Cintamanis) Bagian 1

Kisah berikut ini adalah bagian pertama dari Kisah yang ditulis Abah M. Dardi, D.Has, diangkat dari cerita kampung lama Cintamanis, Selamat Membaca

Ilustrasi dalam Buku Pembalasan Sang Nabo Yang diterbitkan RG
Desa Cintamanis terletak di pinggir Sungai Biak yang merupakan anak Sungai Pawan. Sungai ini terkenal dengan riam – riam yang cukup ganas. Desa Cintamanis terletak jauh di pedalaman Ketapang yang dapat dikategorikan di tengah Pulau Kalimantan.

Malam itu turun hujan gerimis dengan angin yang tidak begitu kencang. Bulan dan bĂ­ntang tertutup awan sehingga cuaca sangat gelap. Penduduk desa malas keluar rumah karena hawa dingin yang menusuk tulang dan hujan gerimis.

Sungai Biak terkenal angker karena dari muara hingga ke hulu sungai penuh dengan riam. Iarak antara riam dengan riam berikutnya hanya 50 sampai 200 m saja. Di antara 2 buah riam itu yang disebut ”randau” merupakan dataran pasir atau kerikil dengan arus sungai agak tenang. Biasanya di sinilah bermukim penduduk yang membentuk Da'asataupun kampung.

Penduduk Cintamanis adalah suku Dayak dan ada beberapa keluarga suku Melayu dan Cina. Mereka hidup dengan rukun. Mata pencarian berupa hasil hutan, berladang gunung serta berkebun karet dan kopi dalam jumlah kecil. Mereka juga memelihara temak berupa babi, sapi, kambing serta ayam. Sungai Biak juga menyediakan ikan yang walaupun tak begitu banyak tapi bisa untuk sekadar memenuhĂ­ keperluan penduduk. Pada masa – masa tertentu mereka berburu rusa, babi, kijang dan kancil dengan menggunakan senapan lantak, tombak dan mandau.

Dalam kegelapan malam yang sesekali diterangi kilat, Demung Sengget dan Sukun anaknya, turun ke sungai menjala ikan. Pada waktu demikian memang banyak ikan berada di randau yang tak jauh dari Lubuk Nabau. Ikan-ikan seakan berpesta pora di randau Lubuk Nabau, sehingga setiap kali Demung Sengget menebar jala banyak sekali ikan yang menyangkut. Walaupun hawa dingin menusuk tulang, namun keduanya itu tak merasakan, karena senangnya mereka menangkap ikan ikan yang cukup besar, menggelepar-gelepar di jalanya. Karena itu mereka terus saja menghilir sambil menebarkan jala, sehingga tak terasa mereka makin dekat dengan Lubuk Nabau.

Di sini ikan makin berkurang yang kena jala. Demung Sengget mengajak anaknya memutar haluan kembali ke hulu. Tapi pada tebaran terakhir, terasa jalanya menyangkut sesuatu yang terasa sangat berat. Tali jalanya menegang. Di air terlihat gelembung udara yang keluar dari dalam air di jalanya. Ketika Demung Sengget menarik jalanya agak keras,  jalanya terasa ringan. Dengan tergesa-gesa ditariknya jalanya ke sampan, sambil mengayuh perahunya dengan kencang.

“Pak, dalam jala kita ada cahaya” teriak Sukun ketika melihat cahaya kehijau-hijauan dalam jala di depannya.

”Biar, nanti di pangkalan kita periksa” sahut ayahnya tanpa menoleh ke belakang lagi.

Mereka mengayuh sampan sekuat tenaga, sehingga tak lama sampai ke pangkalan. Begitu sampai, Demung Sengget menambatkan perahunya, dan langsung meraup jala dan naik ke tangga.

”Ikan kita Pak” seru Sukun.

”Nanti saja diambil” sahut Sengget.

”Cepat naik”, perintahnya seakan melompat naik ke tebing seakan tak diinjaknya.

”Bu, buka pintu,” serunya kepada istrinya.

Penasaran? Nantikan kisah selanjutnya.... Bersambung

Postingan Populer