Enggeh
Ketapang, Matan
Selepas salam Anwar mengerutkan kening, pintu rumah besarnya digedor-gedor kasar. Siapa yang bertamu diwaktu magrib begini? Atau siapa yang meninggal? Keluarganya bertanya-tanya.
Selepas salam Anwar mengerutkan kening, pintu rumah besarnya digedor-gedor kasar. Siapa yang bertamu diwaktu magrib begini? Atau siapa yang meninggal? Keluarganya bertanya-tanya.
Anwar berdiri dari simpuhan membuka pintu. Dua orang berpakaian Opas berdiri dimuka pintu, Anwar menangkap masalah besar dari mata mereka.
"Anwar?" tanya seorang yg lebih besar badannya, Anwar mengangguk menelan ludah.
"Tuan Anwar di Panggil Panembahan besok pagi" Kalimatnya putus tanpa tanda ramah, Anwar tergamam, lalu tak sadar mengangguk.
"Ingat benar, sekira jam lapan harus sudah di Keraton" setelah berucap itu, tanpa salam persis ketika datang mereka berlalu.
Anwar terduduk, apalagi ini?
***
"Kau dak liat? Papan sebesak-besak nyan kau dak liat?" Wak Saman membelalakkan mata, hamburan sirihnya mengena muka Anwar. Wak Saman menoleh pada Tuk Kaye, kedua orang yang dituakan di Kauman itu menggeleng kepala. Anwar makin tunduk dalam.
"Anwar, boleh kau pegi sampai ke Tumasik, boleh kau bejalan jaoh ke Betawi atau membawa kemudi kapal kau ke Semarang... tapi jangan lupa adat kampung sorang" tutur Tuk Kaye semakin menggusarkan Anwar, lelaki sepuh seangkatan Kakek Anwar itu menghirup kopinya.
Selepas kepergian kedua Opas dari rumahnya, Anwar hanya sempat termenung sebentar. Lalu kedua kaki nya dilangkahkan ke rumah besar di tepi Pawan ini, rumah wak Saman. Wak Saman memanggil lagi Tuk Kaye, imam masjid untuk meminta pendapat masalah Anwar ini.
"Di depan keraton, Lah ade tulisan peraturan Lereng di surung... Usah di naet, maseh gak kau langgar" Sambung Tuk Kaye, Wak Saman mengamini. leher Anwar makin tunduk dalam.
Terlalu asyik lelaki pedagang antar pulau itu pada laju sepeda, hingga lupa melihat pengumuman di depan keraton. Tak pula ia sempat memperhatikan lelaki berbaju putih tengan main tenis di depan Keraton, sudah biasa Anwar melihat orang bermain bola pantul itu di Betawi.
Terlalu asyik lelaki pedagang antar pulau itu pada laju sepeda, hingga lupa melihat pengumuman di depan keraton. Tak pula ia sempat memperhatikan lelaki berbaju putih tengan main tenis di depan Keraton, sudah biasa Anwar melihat orang bermain bola pantul itu di Betawi.
"Jadi wak? Tuk?" Anwar menoleh keduanya, yang ditoleh hanya membuang nafas. Anwar tak tahu saja akibat perbuatannya, Raja mereka sekarang adalah orang yang tegas. Tak hanya sekali orang dipelasah Opas di kedai makan waktu bulan puasa.
Tak jarang pula Panembahan marah - marah pada masyarakat di kampung yang dilewatinya. Sebabnya kadang sepele, semisal Panembahan terinjak kotoran ayam waktu keluar dari Oto Biukuk. Leher Anwar makin masuk jauh menunduk, pasrah.
Tak jarang pula Panembahan marah - marah pada masyarakat di kampung yang dilewatinya. Sebabnya kadang sepele, semisal Panembahan terinjak kotoran ayam waktu keluar dari Oto Biukuk. Leher Anwar makin masuk jauh menunduk, pasrah.
***
Anwar mengayuh sepedanya meniti tepian pawan berlawanan dengan arus sungai itu. Matahari masih kuning menyinar dari balik tanjung seberang Kampung Banjar.
Jika mendayung sampan dari kampungnya setelah melewati belokan tanjung, Anwar hanya perlu beberapa saat untuk melihat Istana Panembahan yg berada di Mulia Kerta. Tapi Anwar tidak memakai Sampan, lelaki itu berkendara sepeda yang dibelinya di Semarang. Sepeda kesayangan yang sama saat ia tak tahu diri lewat Keraton.
Karena itu Anwar harus melewati Jalanan tanah liat yg dikeraskan dari Kampung Kaum, Banjar, kampung Arab hingga sampai ke gerbang kampung Mulia Kerta. Lelaki itu turun dari sepeda dan menuntunnya. Anwar tak ingin mengulang kesalahan yang sama yang membuatnya sekarang dipanggil layaknya pesakitan.
Setiba di pagar Istana, dia menongkatkan sepedanya. Masih jauh Anwar harus berjalan. Di depan papan pengumuman, Anwar berhenti sejenak mulutnya komat kamit membaca huruf yang ditulis besar - besar disana dalam bahasa Melayu latin, Melayu Arab dan Belanda. Anwar menepuk kening.
***
"Panembahan tengah mandi, tunggu sebentar" Kata Opas berkumis tebal didepan kantor Panembahan. Bukan di aula agung Keraton, Panembahan kata Tuk Kaye lebih sering menemui orang di kantornya. Anwar menunduk lalu beranjak mencari tempat teduh didepan Keraton.
Kerindangan Pohon Saga di pilihnya untuk beristirahat. Sungai Pawan mengalir deras dalam senyap, menyembunyikan kegelisahan di kedalamannya. Anwar melihat prajurit - prajurit tangsi militer Belanda di seberang Keraton sedang bersiap apel.
Anwar mendengar sebulan lalu di Semarang bahwa tentara Dai Nippon akan segera menyerang Hindia, menyelamatkan rakyat kata mereka. Pantas saja prajurit-prajurit KNIL diseberang dengan tekun mengikuti latihan menembak selepas apel. Opas berkumis tebal mendekat.
"Panembahan udah selesai mandi, kasut silahkan lepas di kaki tangga..."matanya tak sudi melihat pesakitan macam Anwar. Anwar tergopoh berdiri sambil menunduk-nunduk berjalan ke arah keraton.
Panembahan sudah duduk menunggu di balik meja kayunya. Duduk tunduk, sedang menulis sesuatu. Saat mendengar suara decit pintu, Panembahan mendongak sebentar, memicingkan mata mengenali Anwar lalu berkata “tutup gik, ambik tempat dudok di sian” telunjuknya mengarah ke sudut dibalik pintu.
Anwar tergopoh menutup pintu, hendak menutup pelan tapi yang terjadi malah pintunya tertutup kasar. Anwar menunggu, tapi Panembahan hanya berdehem lalu kembali menulis. Anwar mengangkat kursi kayu ke hadapan meja Panembahan.
“Dudok” Panembahan belum lagi mengangkat matanya dari kertas.
“Dudok” Panembahan belum lagi mengangkat matanya dari kertas.
“Pu’ um e yang name Anwar te?” Panembahan membenarkan duduknya, alisnya melengkung meniti kelopak lebar, wajahnya kini lebih lebar dibanding beberapa tahun lalu saat pertama kali naik menjadi Panembahan, rambutnya pun sudah banyak menyisih dari bagian depan kepala.
“Enggih” jawab Anwar sesuai ajaran sesepuh kampungnya “jangan membatah, cukup katakan Enggih—iya” demikian yang dihapal Anwar baik – baik di kepalanya.
“Pu’ um e yang lalu sene’ hari semalam te” Lanjut Panembahan.
“Enggih”
“Pu’ nin sik mate dak e? Tau bace dak e?” Suara Panembahan naik,
“Enggih” Anwar makin merunduk, tak sadar lagi apa yang dia katakan.
“Pu’ nin bodoh tembelang e ape e?” Suara itu masih naik lagi,
“Enggih”
“Dak, Pu’ nin tulik dengkak isi’ curak ape e?”
“Enggih”
“Yak Lah, Pu’ Nin dapat omong laen selaen Enggih mah dak e?”
“Enggih”
Panembahan beranjak dari Kursinya, lalu mendekat ke Anwar “Pu’ maok e dudok di kursi aku nyan? Enggih am Enggih am, dak ku tampar tang sian” Tangan Panembahan terbuka hendak menampar.
Anwar terkejut, lalu memohon ampun dengan sangat. Hampir Anwar meraih kaki Junjungan Negeri Matan itu.
Anwar terkejut, lalu memohon ampun dengan sangat. Hampir Anwar meraih kaki Junjungan Negeri Matan itu.
“Udah – udah, Pu’ nin mang tembelang abor, udah berambus senun” Panembahan duduk menghempas kembali ke kursinya. Anwar melongo, lalu segera ia ditarik Opas yang sedari tadi sudah menunggu di depan pintu.
Sejak itu, Anwar tak pernah lagi bertemu Panembahan .
Note: M. Dardi, D.Has menulis anekdot ini dalam majalah BermatanNews. Penulis sendiri menambah tokoh - tokoh untuk mengalirkan cerita. Untuk menjaga ke 'fiksi' annya, penulis sengaja tidak menyebut nama Panembahan dimaksud.