Buku Kumpulan Cerpen: Penghargaan (Buku dari Kayong Utara)


Eksotisme Kearifan Lokal dalam Sastra

Oleh: Satmoko Budi Santoso

Aktualitas wacana cultural studies atau studi-studi  mengenai kebudayaan bergaung hingga kini. Dalam ranah sastra, banyak segi positif yang kemudian muncul. Di antaranya adalah melahirkan kreator yang berpijak pada semangat penggalian kearifan lokal daerah tertentu sebagai basis karyanya.
Salah satu kreator atau sastrawan yang intens mengangkat wacana perilah studi kebudayaan di dalam ranah karya sastra adalah Saifun Arif Kojeh. Melalui cerpen-cerpennya di dalam buku ini pembaca dapat bertamasya dengan nyaman menjelajahi kearifan lokal budaya Kalimantan, khususnya di Kalimantan Barat, lebih spesifik lagi di Kabupaten Kayong utara tempat Saifun tinggal. Sebuah daerah yang baru dalam usia 30-an tahun bisa saya datangi, melalui perjalanan darat dari Pontianak selama sembilan jam dengan menggunakan perahu kelotok.
Melalui kumpulan cerpen Saifun kali ini pula, pembaca akan mengetahui secara dekat adanya kebudayaan yang mungkin jarang terangkat sebagai berita secara umum dalam skala nasional. Saya secara pribadi sangat senang membaca kumpulan cerpen ini  karena saya merasa mendapatkan gambaran yang baik mengenai interaksi antarorang dalam masyarakat Dayak Kekinian, interaksi masyarakat Dayak dengan kondisi alam kekinian, dan aspek lainnya. Tentu saja, banyak kekhasan orang, alam, dan lainnya yang menjadi latar garapan estetik Saifun. Misalnya, di dalam cerpen Joget Tempel. Karakter khas yang dibangun oleh Saifun adalah menghidupkan keladi birah. Sejenis tumbuhan yang di dalam cerpen ini bagai hidup seperti manusia. Teknik penceritaan yang khas Saifun adalah teknik penceritaan yang berhasil menghidupkan apa yang dia ceritakan menjadi tidak sekadar objek latar cerita, melainkan bisa menjadi subjek yang sangat penting. Seperti berada di dalam dunia ambang: antara metafor dan realitas sekaligus. Inilah yang juga menjadikan cerpen-cerpennya unik. Kalau pun ada nuansa mengkritik modernisasi lewat simbol orang yang datang menggunakan mobil misalnya, maka bahasa kritikannya tetap searus dengan bahasa cerita yang sudah dibangunnya secara khas. Kritikan yang disampaikannya pun menjadi terasa sebagai kritik yang halus.
Rupanya di dalam Dunia Sastra Indonesia kita hari ini masih banyak intan berupa karya yang tersembunyi yang jika muncul ke permukaan menjadikan kejutan. Betapa keragaman cara bercerita sastrawan dari setiap pulau yang ada di Indonesia adalah sangat kaya dan mempunyai akar kuat dari tradisi budaya kelisanan yang hidup di dalam masyarakat setempat. Hal semacam ini, kiranya sering luput dari amatan “pusat-pusat sastra”, misalnya media massa nasional. Kita tahu, persentase pemuatan cerpen di media nasional seringkali tersentralisasi pada sastrawan dari pulau tertentu sehingga sastrawan dari daerah tertentu seperti terasa kurang mendapatkan kesempatan tayang. Padahal, banyak keunikan dan kekhasan yang diusung, yang jika mendapatkan ruang penayangan cukup banyak akan menjadi mainstreamtersendiri.
Namun, barangkali saja, “pusat-pusat sastra” berupa media nasional juga sudah tidak terlalu penting. Di era kini, cukup banyak media sosialisasi karya sastra yang memang tidak harus terpaku hanya pada media nasional baik koran maupun majalah yang sudah mapan. Dalam konteks ini pula, maka kehadiran karya Saifun di panggung sastra, layak mendapatkan perhatian serius. Betapa ia telah berjuang keras menghidupkan dan mensosialisasikan karya secara mandiri. Jika ini terus terkondisi, tentu saja melalui jaringan komunitas tertentu yang ada di pulau lain di luar tempat tinggalnya, bukan tidak mungkin apa yang ia tulis juga akan menjadi mainstream. Apalagi kini dunia maya juga bisa sebagai media mensosialisasikan karya. Saya berharap, konsistensi Saifun dalam menulis dengan identitas teknik berceritanya yang sudah khas, bisa terus terjaga sampai kapanpun.

Satmoko Budi Santoso, sastrawan
Tinggal di Yogyakarta




Postingan Populer