Kar, Si Manusia Macan


Misteri Manusia Macan di Bukit Gendang Pebihingan, Ketapang

Bukit Gendang adalah sebuah bukit di dekat Pebihingan Daerah Tumbang Titi (Sekarang Kecamatan Pomahan—Ak). Beberapa tahun sekali hutannya dibuka untuk menanam padi oleh masyarakat Pebihingan. Karena itu terdapat beberapa buah pondok yang dibiarkan kosong setelah digunakan selama musim berladang.

Bakar—orang kampung Pebihingan memanggilnya Kar saja, berbadan tinggi masih 18 tahun. Badannya lemah, pucat dan sakit – sakitan, kerjanya Cuma malas-malasan dirumah.

Ayah Kar tak suka dengan anaknya itu, karena tak pernah membantu orang tua. Dibawa berladang, baru menebas beberapa rumpun bawas sudah kecapean. Menyadap karet tak mampu banyak sebagaimana kawan seumurnya. Akhirnya Ayah Kar suka sekali marah – marah pada Kar, hidup orang tuanya yang miskin semakin melarat karena anak yang tak bisa diajak kerja.

Suatu hari Kar menghilang. Sudah dicari ke sudut – sudut kampung, ke Lembah dan bukit, Kar tak juga ketemu. Walau bukan anak kesayangan, kehilangan anak tak pernah diharapkan oleh Ayah Kar. Akhirnya seorang dukun yang dipanggil Apai Buntat dari Mungguk Pekawai.

Pada malam yang tak terlalu lama berselang dari hilangnya Kar, Asap perapian berisi kemenyan membumbung ke angkasa gelap pebihingan. Di depan perapian Apai Buntat duduk bersila sambil membaca mantra. Kemudian tubuhnya terbaring, ia seperti tidur—tidur yang teramat lelap. Tak berapa lama ia bangun lagi, segar sedia kala membuka mata memandang sekelilingnya. Matanya nanar. Apai Buntat lalu memandang ke arah depan, seakan bercakap pada angin “Kar, Pulanglah, orang tuamu mencari”

Ayah Kar dan orang – orang yang menyaksikan awalnya bertanya – tanya ‘dimana Kar, mengapa Apai Buntat seakan bicara padanya?’ Tapi tak lama, pertanyaan mereka terjawab dengan suara angin yang menderu diikuti suara Kar “Aku mau pulang, tapi Ayah jangan memarahiku terus”

“Tak akan lagi” Bujuk Apai Buntat “lihatlah ayahmu yang kesusahan itu”

“apa betul begitu?” angin kembali menderu mengejar asap kemenyan, semua yang hadir terjengkang diterpanya.

“Betul, ayahmu berani bersumpah” Apai Buntat meyakinkan, angin menjadi tenang.

“Kalau begitu” kata suara Kar dalam deru angin “Hanya Ayah, Ibu dan Apai Buntat yang boleh menjemputku. Pergilah ke Bukit Begendang” Angin kembali menderu, menjauh. Apai Buntat lalu terbaring kembali untuk kemudian sadarkan diri sepenuhnya. Ia meminta air, diteguknya beberapa gelas seperti habis berjalan jauh.

Lalu katanya “Anakmu telah di tapok kan Siluman Macan Bukit Begendang, sungguh berat menghadapi mereka. Kar tampaknya sudah memakai selempang dari semut Kambing[1], tapi bagaimanapun yang kuasa masih mau mengembalikannya pada kita”

***

Benar yang dikatakan Dukun itu. Esoknya Ayah dan Ibu Kar didampingi Apai Buntat—sang Dukun menemukan Kar sedang duduk termenung diatas batu besar didalam hutan Bukit Begendang. Tatapannya kosong, para penjemputnya tak diperhatikan. Apai Buntat kemudian mengeluarkan perbekalannya dan naik ke atas batu.

Beras kuning ditaburkan Apai Buntat ke kepala Kar, barulah pemuda itu menoleh, tapi tingkahnya serupa orang linglung. Apai Buntat kemudian menyapukan air putih yang telah dijampinya ke wajah Kar, barulah dia sadar dan bisa diajak turun dari batu menemui orang tuanya.

Di rumah, Kar bercerita pada Kedua orang tuanya jika ia dibawa oleh seorang kakek tua ke rumahnya di Bukit Begendang. Kar sebelum itu tak pernah melihat kota, namun dia bisa bercerita seakan - akan Bukit Begendang adalah sebuah Kota yang ramai, jalan – jalan disana beraspal licin katanya. Namun tempat tinggal orang tua itu masih diperumahan yang sepi penduduknya tapi rumahnya bagus sekali. 

Di Kota Bukit Begendang menurut Kar, pemukiman – pemukimannya merupakan campuran dari berbagai macam jenis makhluk, tapi mereka tak saling mengusik satu dengan lainnya. Hanya saja mereka tak saling berkomunikasi karena memang lain bahasa.

Orang tua itu kata Kar, ingin menjodohkan Kar dengan anak gadisnya yang cantik. Kar sesungguhnya telah tertawan hatinya oleh gadis itu. Andai kata Apai Buntat tak membuat riuh Kota Bukit Begendang dengan jampi – jampinya, Kar tentu sudah menikah dengan gadis itu.

***

Masa berganti, musim – musim berkejaran dengan waktu. Musim berladang berganti musim panen, lalu kembali lagi musim berkerja tiba. Kar kembali mendapat omelan dari ayahnya, orang tua Kar kesal pada anaknya yang pemalas itu. Pekerjaan membuka lahan, membakar ladang, menggurun, dan menugal tak pernah sekalipun Kar membantu. Hari – hari Kar berisi kemarahan sang Ayah.

Dipuncak kemarahan sang Ayah, Kar menghilang lagi.

Apai Buntat kembali dipanggil, namun setelah bermalam – malam berusaha lelaki sakti itu menyerah juga. Apai Buntat meminta orang tua Kar untuk merelakan anaknya. Menurut Apai Buntat, Kar telah menikah dengan anak Raden Menturun bernama Raden Simah. Bila telah manusia telah menikah dengan macan kata Apai Buntat, maka dukun – dukun seperti Apai Buntat tak akan mampu mengambilnya kembali. Siluman macan tinggi ilmunya, mereka sangat sakti dalam segala hal. Dan lagi ini kemauan Kar yang punya badan, Kar sudah tak tahan mendengar teriak marah ayahnya. Orang tua Kar pun akhirnya pasrah menerima nasib anaknya menjadi Siluman Macan.

***

Beberapa tahun kemudian Gangga, sepupu dekat Kar terbangun dari tidurnya dengan wajah pasi dan badan penuh peluh. Gangga bertemu Kar dalam tidurnya. Dalam wujud setengah Macan, Kar dalam mimpi Gangga memberitahu kalau ia telah beranak dua. Yang tua lelaki dan yang kedua perempuan. Kedua anaknya itu nakal kata Kar tapi keluarga tak perlu takut, mereka tak akan mengganggu. Kar juga berpesan, kalau tiba – tiba nanti diantara keluarga atau penduduk kampung yang bertemu dengan macan jangan lantas diburu dan dibunuh. Karena perbuatan itu tidak akan diterima dengan ikhlas oleh masyarakat macan, mereka akan membalas dan itu membahayakan siapa saja yang masuk ke dalam rimba bukit Begendang. Sebelum pergi Kar memberitahu Gangga “jika keluarga ada apa – apa didalam hutan, panggil saja nama ku. Aku akan membantu” Gangga mengangguk dalam tidurnya, lalu Kar yang setengah macan menjelma asap raib tapi suaranya masih bersisa untuk membuat Gangga terperanjat ketakutan “Gangga, aku akan datang lagi buat mengambil anak gadismu sebagai menantuku” Lalu sepenuhnya Kar menghilang.

Pesan Kar disampaikan Gangga pada saudara – saudara yang lain. Herkan seorang saudaranya yang tinggal di Semayok suatu hari pergi ke Bukit Begendang bersama beberapa orang temannya hendak mencari buah Durian yang sedang musimnya. Walau banyak buah durian bergelantungan di dahan, tapi tak ada buah durian yang jatuh, mungkin memang belum masanya. Namun Herkan penasaran ingin makan durian dan pula tak mau malu telah mengajak temannya jauh – jauh tapi tak mendapat apa – apa. Lalu dia teringat cerita Gangga, dia pun berteriak lantang memanggil sepupunya

“Hai Kar” teriaknya “Kami datang kemari buat makan durian, jatuhkanlah barang sebuah dua buah, walaupun mentah. Kawan – kawan ku ni kenahat benar dengan durian kampung kita”

Tak berapa lama suara angin menderu ribut, dedaunan gemerisik beradu satu dengan lainnya. Di atas dahan – dahan pohon suara ribut semakin kencang bak badai, tapi anehnya Herkan dan kawan – kawan tak merasakan ada angin yang menerpa mereka. Kemudian tampak dedahanan durian bergoyang dengan hebat, hingga jatuhlah beberapa buah durian. Herkan dan kawan – kawan kegirangan tapi belum bisa mendekat buat menyandobuah itu. Hingga kemudian ribut di dedahanan itu mereda baru mereka berani memungut Belibar pemberian sepupunya yang sekarang telah menjadi manusia macan itu.

“Terima kasih Kar” teriak Herkan yang dijawab bunyi “Tung, Tung, Tung” di kejauhan, bunyi pertanda seekor macan.

Hajran, saudara Kar yang lain juga pernah meminta bantuan pada manusia macan itu. Lelaki yang pernah menjadi Kepala Desa Semayok itu bercerita bahwa keluarganya pada tahun itu masanya berladang di Bukit Begendang. Namun babi hutan mengganggu peladangan mereka, hingga tiap malam beberapa orang lelaki harus berjaga. Tiap malam menerima angin dingin perbukitan dan menahan kantuk membuat mereka mengeluh juga—termasuk Hajran. Seperti Herkan, Hajran pun teringat cerita Gangga, lalu “Hai Kar” teriaknya digelap malam “Kalau masih dianggap keluarga oleh mu kami ini,  usirkanlah babi yang menyerang ladang kami. Padi kami mulai menguning, kami tak sanggup lagi  jika harus berjaga siang malam” Tak ada jawaban, angin menderu pun tiada.

Tapi sejak itu peladangan Hajran tak pernah lagi diganggu Babi hingga masa menuai. Sementara dipeladangan lain babi hutan menggila hingga menyebabkan gagal panen. Cerita – cerita tentang bantuan Kar pada keluarganya banyak terjadi namun tak satupun yang pernah melihat sosoknya secara nyata.

Hanya Gangga yang risau dan ketakutan dengan sepupu setengah macannya itu. Sejak mendapat mimpi itu Gangga mendapati anak gadisnya sering termenung. Lalu tak berapa lama anak gadisnya sering kerasukan siluman macan. Apai Buntat sudah lama meninggal hingga tak bisa diminta bantuannya.

Namun Gangga tak putus asa, masa telah berkembang. Jika dulu orang percaya pada kekuatan alam dan tuah dukun, kini Gangga meminta bantuan pada seorang guru mengaji. Guru mengaji itu hanya memberi zikir – zikir yang mesti dibaca oleh anak gadisnya dan seisi rumah Gangga. Sejak itu Kar tak lagi pernah mengganggu keluarga Gangga. Sesekali saja dia datang dalam mimpi Gangga, menampakkan wajah setengah macannya yang sedang kesal. Kar mungkin marah karena Gangga menolak berbesan dengannya.

Telah diubahsuaikan dari Sumber aslinya : Bakar Menjadi Siluman Macan, cerita Herkan dan Hajran yang dimuat di Majalah BermatanNews Januari 2005





[1] Semut Kambing adalah sebangsa semut besar kira – kira sebesar puntung rokok

Cerita dalam versi ini dimuat dalam buku Dongeng dan Kisah Misteri Dari Tanah Kayong, bukunya bisa dibeli di:

Postingan Populer