Kememberang dan Kancil


Berang – berang adalah tukang kayu yang handal, mereka merangkai reranting kecil di parit-parit dalam hutan menjadi sebuah bendungan, membuat ikan yang hidup hilir mudik di dalam aliran sungai terjebak dan dengan mudah ditangkapnya. Berang – berang di Tanah Kayong sering disebut Kememberang.
Suatu hari didalam hutan Tanah Kayong, ibu Kememberang hendak pergi mencari ikan tambahan karena hasil tangkapan dari bendungan yang dibuatnya  dianggapnya masih kurang. Ibu Kememberang memang terkenal selalu kekurangan pada rejeki yang diberikan Tuhan, terkadang hasil tangkapannya cuma menjadi bangkai yang tak dimakan. 
Karena anak – anaknya masih kecil dan belum terbuka matanya, ibu Kememberang khawatir untuk meninggalkan bayi-bayi itu karena sang suami telah tiada hingga tak ada yang akan menjaga mereka..

Saat Ibu Kememberang sedang susah, lewatlah sang kancil didepan sarangnya. Binatang serupa rusa kecil itu melompat – lompat memamah dedaunan dipinggir sungai, senanglah Ibu Kememberang melihat sahabat nya itu.
“Hai Kancil, mau kah engkau menolongku?” Tanya ibu Kememberang.
“tentu saja, selama aku masih bisa menolongmu” jawab sang kancil.
“Begini kancil, aku hendak berburu ikan ke sarang Seluang hari ini, tapi anak – anakku tak ada yang menjagakan, mau kah engkau menolongku menjaganya?” mohon ibu Kememberang, kancil mengangguk setuju, hari ini dia sedang tak ada kerja apalagi sesama warga hutan sudah sepantasnya saling tolong menolong.
Maka berangkatlah Ibu Kememberang untuk mencari ikan ke Hulu, sedang anak – anaknya masih pulas tidur disarangnya. 
Karena bosan menunggui bayi, sang Kancil bersantai sejenak diteras sembari menikmati suara merdu aliran air dan bunyi riuh hutan yang menyejukkan mata, sang kancil jadi mengantuk.


Tiba – tiba terdengar tabuhan genderang “Dung dak dung dung, dung dak dung dak dung dung” ternyata Elang Ketupik sedang menabuh genderang perang, sang Kancil yang terperanjat langsung memasang kuda-kuda dan mengeluarkan jurus silatnya, sang Kancil memang terkenal sebagai pesilat handal dan tak boleh mendengar genderang perang, kaki – kakinya akan mengikuti tetabuhan itu dalam gerak silat yang gesit.
Saking asyiknya sang Kancil bersilat sendirian, tak disadarinya anak Kememberang terbangun dari tidur, seekor dari mereka merangkak keluar mendekati suara pencak silat sang Kancil, hingga tak sengaja Kancil terinjak ke tubuh bayi yang matanya masih belum terbuka itu. Kancil terkejut, bergegas ia mengembalikan bayi itu ke dalam kamar. Sang Kancil melanjutkan bersilat mengikuti genderang perang yang ditabuh Elang Ketupik, hingga keletihan dan tertidur.
Ketika hari sudah sore, ibu Kememberang pulang ke sarang, ia melihat sang Kancil tidur dipelataran sarangnya
“Hai Kancil, bangunlah, dimana anak – anakku?” tanyanya khawatir, yang ditanya membuka mata lalu menguap besar.
“Itu didalam, masih tidur...” jawabnya malas, Ibu Kememberang masuk ke kamar dan mendapati satu dari anak – anaknya tidak bergerak lagi, akibat cedera parah.
“Alahai Kancil, engkau apakan anak ku sampai luka lebam begini?” Ibu Kememberang marah sambil menangis, kancil kebingungan mengingat – ingat kembali kejadian tadi siang, lalu sadarlah ia jangan – jangan itu bayi yang tadi terinjaknya.
“Anu... anu...” Sang Kancil gugup “itu gara – gara Elang Ketupik menabuh genderang perang...”
“Apa hubungannya Elang Ketupik menabuh Genderang dengan anakku yang luka? Jangan-jangan kau menyiksa anakku selagi aku pergi?” suara ibu Kememberang meninggi, sang Kancil kemudian menjelaskan kejadiannya. Ibu Kememberang masih tak terima dengan penjelasan sang Kancil, lalu dibawanya Kancil menghadap pemimpin belantara tanah Kayong untuk mempertanggung jawabkan kecerobohan itu.
“Pak Mawas, aku ingin melaporkan Kancil karena telah melukai anakku” Ibu Kememberang melapor ke Pak Mawas, Orang Hutan yang mereka jadikan pemimpin dihutan tanah Kayong ini. Maka diadakanlah sidang warga hutan esok harinya.
Di Majelis persidangan warga hutan, Ibu Kememberang melaporkan kejadian yang menimpa anaknya kepada Pak Mawas sambil terisak – isak sedih, warga hutan menjadi iba dan menyalahkan Kancil.
“Mengapa bisa engkau seceroboh itu Kancil?” Tanya pak Mawas wibawa.
“Wahai Pak Mawas, aku ceroboh demikian karena Elang Ketupik Menabuh Genderang Perang, bukankah engkau tahu kalau aku tak bisa mendengar tetabuhan genderang? Aku bersilat hingga lupa diri, jadi itu bukan salahku sepenuhnya” ia membela diri
“Maka kita harus memanggil Elang Ketupik untuk bertanggung jawab” Perintah Pak Mawas pada Harimau Kumbang, tak lama punggawa hutan itu telah kembali dengan Elang Ketupik yang hinggap di dahan pohon yang rendah.

“Mengapa engkau menabuh genderang perang membuat Kancil bersilat hingga tertinjak pada anak Kememberang?” Pak Mawas meminta penjelasan
“Daulat tuan hamba” Sembah Elang Ketupik “Hamba memukul genderang perang karena melihat Ikan Tapah berbaju landung...” masyarakat hutan semakin bingung mendengarnya
“Panggil Ikan Tapah” Perintah Pak Mawas, ketika datang ke hadapan Majelis ikan Tapah langsung ditanya mengapa ia berbaju Landung?

“Daulat tuan hamba” ia menjura dari sungai “Adapun hamba berbaju landung, karena melihat Ikan Silok berbaju rantai” Pak Mawas memerintahkan seekor Belut besar menyusul Silok ke sarangnya, tak lama ia telah kembali dengan Silok, segera Ikan itu diminta keterangannya.
“Daulat tuan hamba” terang silok “Apakah sebab hamba berbaju rantai hingga tapah berbaju landung? Hamba berbaju rantai karena melihat Ikan Baung berkeris tiga” sekali ini tak perlu diminta, sang Belut besar masuk ke dalam sungai mencari ikan Baung

“Wahai Baung” sabda Pak Mawas “Mengapakah engkau berkeris tiga yang membuat Silok berbaju rantai hingga Tapah memakai baju landung, melihat itu Elang Ketupik mengira terjadi perang hingga ia menabuh genderang, karena tetabuhan itu sang Kancil menjadi bersilat hingga ceroboh menginjak anak ibu Kememberang?” Pertanyaan itu didengarkan seksama oleh Ikan Baung, masyarakat hutan sunyi hendak tahu siapa yang bertanggung jawab atas semua ini.
“Daulat Tuan Hamba” Ikan Baung menghatur sembah “Adapun hamba terpaksa memakai keris tiga adalah karena melihat ikan Senjulung memakai tombak, hamba mengira akan ada peperangan” Majelis sidang menjadi ramai, ternyata penanggung jawab peristiwa itu belum ketemu, masih ada lagi yang lain. Ikan Senjulung sebagai seorang punggawa penjaga ketertiban didalam sungai dengan senjata tombak kebetulan berada disana.

“Daulat Tuan Hamba, Hamba memakai tombak karena melihat udang berjalan maju mundur, hamba hendak menertibkannya” Lapor Senjulung, Udang yang sedari tadi juga menyaksikan jalannya persidangan segera mendekat, ia menjelaskan bahwa ia berjalan maju mundur karena Ikan Seluang berenang Hilir Mudik.

Akhirnya serombongan ikan Seluang dihadirkan di hadapan sidang “Wahai Ikan Seluang, mengapakah engkau berenang hilir mudik membuat udang berjalan maju mundur?”
“Daulat Tuan Hamba” kata seekor ikan Seluang yang menjadi juru bicara “Bagaimana hamba tidak berenang hilir mudik, karena hamba melihat ibu Kememberang memburu ikan di tempat Hamba, bagaimanakah hamba dan keluarga hamba tidak takut? Kami berlarian hilir mudik demi menghindar dari tangkapan ibu Kememberang Tuanku”
Mendengar keterangan itu maka jelaslah sudah bahwa asal muasal kecerobohan Kancil itu disebabkan oleh Ibu Kememberang sendiri, semua kini terdiam menunggu sabda Pak Mawas, Orang Hutan pemimpin Belantara tanah Kayong.
“Wahai ibu Kememberang, telah teranglah kesalahan ini bermula dari keserakahan engkau yang selalu tak puas akan nikmat yang Tuhan berikan, apabila engkau puas akan pendapatan ikan di bendunganmu tentulah engkau tak akan mengacaukan sarang Seluang yang membuat mereka ketakutan, alhasil kecerobohan ini tak perlu terjadi” Simpul Pak Mawas yang diamini hewan penghuni belantara, Ibu Kememberang tertunduk menyesali keserakahannya, seandainya ia puas pada penghasilan bendungannya tentu ia tak perlu meminta Kancil menjaga anaknya, ia sendirilah yang harus menjaganya.
“Sesuai dengan hukum belantara tanah kayong ini...” Sambung Pak Mawas “Aku putuskan untuk mengampuni Ibu Kememberang atas kesalahannya, karena kasihan akan anaknya yang terluka, jagalah mereka dan jangan turuti keserakahan” Ibu Kememberang menunduk saja mendengar itu.
“Sedang bagi kalian Wahai Kancil, Elang Ketupik penabuh genderang perang, ikan tapah berbaju landung, ikan silok berbaju rantai, ikan Baung berkers tiga, ikan Senjulong memakai tombak, Udang yang berjalan maju mundur dan Seluang yang berenang hilir mudik, kalian diampuni” Semuanya berterima kasih pada Pak Mawas dan bersyukur kepada Tuhan.
“terkhusus bagi Kancil” Sabda Pak Mawas “engkau harus menolong Ibu Kememberang mengobati anak nya dan jangan mudah tergoda menikmati kesukaanmu kalau sudah punya tugas, jalani kewajibanmu dengan tanggung jawab” Kancil mengangguk mengakui kesalahannya mudah lupa diri karena asyiknya bersilat yang memang hobinya.
Persidanganpun bubar, tak hanya Kancil, semua warga hutan termasuk Pak Mawas pergi ke Sarang ibu Kememberang untuk mengurus dan melihat anaknya. 
Di alam tanah Kayong yang dikedepankan selalu saling tolong menolong dan saling memaafkan, demikianlah adanya sesuai ciptaan Allah, Tuhan semesta Alam.

Postingan Populer