Burung Pang-Pangkut (Fabel Ketapang)

Adik-adik,
Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara disebut juga sebagai Tanah Kayong, yang menurut beberapa orang berasal dari kata Khayangan dalam penyebutan Melayu Tua, artinya Tanah Surga. Disebut Tanah Surga karena begitu indahnya negeri Kayong ini. Di bagian pesisir, laut dengan gelombang tenang berkejaran menyapa pasir pantai yang membentang, diatas pantai itu pucuk-pucuk daun kelapa melambai diterpa angin, ditempat lain yang tidak berpasir; akar bakau menjadi tempat yang aman bagi ikan untuk menyimpan telurnya, karena itu Tanah Kayong begitu kaya akan ikan.
Agak ke darat, setelah daerah landai berawa dangkal, perbukitan sambung menyambung menjadi landasan hutan yang merangkum Tanah Kayong dalam hijaunya pepohonan. Di dalam hutan – hutan itu segala jenis hewan kita temukan, demikian pula makanannya berupa umbi – umbian dan buah yang beraneka macam anugerah Allah Tuhan semesta alam. Manusia, alam, hewan dan tetumbuhan hidup harmonis mensyukuri nikmat di negeri kayong.
Suatu ketika, keadaan itu berubah, hewan-hewan di dalam hutan gelisah. Hutan tak lagi menghasilkan apa-apa bagi mereka, pepohonan yang biasanya berbuah sekarang tak memunculkan buahnya sama sekali. Durian, cempedak, pekawai, temberanang, teratong, asam kelemantan, kuini,rukam hingga keranji tidak menampakkan diri.
Babi yang paling awal mengeluhkan keadaan itu, Biji tengkawang, biji durian, keladi bahkan jengkol tak bisa ditemukannya. Hingga ia terpaksa masuk ke pemukiman manusia untuk mengambil ubi kayu, naas babi itu ketahuan dan diburu manusia, beruntung ia cepat melarikan diri ke hutan lebat.
Mawas dan Kelempiau di pucuk dahan juga mengeluhkan kuini yang tak kunjung berbuah, apalagi durian dan kelemantan tak pernah lagi nampak buahnya. Mereka mengkhawatirkan anak – anak mereka yang masih kecil jadi sering menangis karena kelaparan. Ular, landak, pelanduk, macan dahan, trenggiling serta hewan lainnya juga menyampaikan keluhan. “Manusia  sih enak...” keluh landak “jika mereka tak bisa menikmati buah – buahan, mereka bisa mendatangkan dari negeri yang lain, sedang kita? Kita tak bisa mencari ke lain tempat selain Tanah Kayong ini” betuuul... teriak kawan binatang yang lain.
Akhirnya dicari penyebab mengapa Hutan di Negeri kayong tidak lagi menghasilkan buah-buahan untuk mereka makan, Buaya dan Kura-kura bijak juga turut urun rembuk. Lalu mereka sadar bahwa mereka sudah lama tak mendengar suara burung Pang-Pangkut, padahal burung itu merupakan burung yang mereka percaya memiliki tuah kesuburan lewat suaranya. Hewan – hewan tahu, bila terdengar bunyi “Pang-Pang-kuuut... Pang-pang-kuuut...” maka itu pertanda akan ada musim buah terutama buah durian yang menjadi Raja buah-buahan Tanah Kayong.
Burung Pang-pangkut adalah burung kecil bersuara nyaring, kemana dia pergi selalu ditemani sekawanan kupu-kupu beraneka warna. Dahulu setiap musim buah mereka teringat akan Pang-Pangkut dan berterima kasih kepadanya namun akhir-akhir ini mereka sudah jarang menengok Pang-Pangkut ke sarangnya untuk berterima kasih.
Akhirnya burung bertuah itu merasa kesepian hanya berteman Kupu-kupu, Pang-Pangkut tanpa mereka ketahui pergi ke selatan menuju pulau Jawa, kupu – kupu yang selalu senang mendengar suara pang-pangkut merasa sedih lalu berhenti hinggap di bunga pepohonan, akibatnya tak ada lagi penyerbukan yang menyebabkan tak adanya musim buah.
“maka kita harus membujuknya pulang” kata Landak berbulu tulang yang tajam-tajam, usulnya disambut persetujuan penduduk hutan.
“Tapi siapa yang akan pergi?” tanya kura-kura “perjalanannya tak mudah, Jawa berada diseberang lautan yang membentang luas, perlu kiranya kita memperhatikan benar siapa yang akan kita utus agar tidak menjadi sia-sia” sambungnya
“Bagaimana kalau kebenat?” tanya pak buaya, Kebenat masih bersaudara dengan burung merpati, berbulu hijau dan berkaki merah “terbangnya kencang, dan ia pun mampu melewati badai” Usul pak Buaya disepakati sehutan rimba tanah kayong, burung Kebenat pun tak keberatan.
Setelah segalanya siap, burung Kebenat dilepas dengan tujuan mencari dan membujuk Pang-Pangkut untuk kembali ke Tanah Kayong. Penuh semangat Kebenat menyusuri hutan hingga mencapai pesisir beberapa hari kemudian, tanpa istrahat lagi ia langsung melesat ke arah selatan melintasi laut. Pulau demi pulau di lalui namun Kebenat belum mau istirahat, ia percaya bahwa dirinya tak mudah lelah.
Hingga kemudian, ditengah laut Jawa dia merasa sangat letih lalu memilih pulau terdekat untuk beristirahat. Tak lama Kebenat pun tertidur, tanpa sadar ia hinggap pada ranting diatas tebing beralas laut dibawahnya. Saking pulasnya, kebenat terjatuh ke laut dan langsung diterkam hiu.
Setelah satu purnama terlewati, tahulah masyarakat hewan di Tanah Kayong kalau utusan mereka telah gagal dalam tugasnya, dalam gelisah mereka kembali berkumpul. Mereka berembuk dengan cepat didorong rasa lapar yang mengancam, akhirnya diputuskan untuk menjadikan seekor Kupu-kupu sahabat Pang-pangkut sebagai utusan ke tanah Jawa. Tak seperti Kebenat yang bisa terbang dengan laju namun tergesa-gesa yang berakhir celaka “...kupu-kupu lebih penyabar dan berhati-hati, badannya pun lebih ringan” kata Kelempiau menjelaskan pendapatnya.
Maka berangkatlah Kupu – kupu ke tanah jawa, tak tergesa-gesa namun pasti hewan bersayap indah itu terbang melintasi pulau demi pulau. Jika merasa letih, dengan badan ringannya kupu-kupu hinggap di ranting, sesekali ia juga hinggap di buih lautan tanpa perlu merasa khawatir dilamun ombak. Hingga sampailah ia ke tanah jawa.
Segera ia mencari kawanan saudaranya sesama kupu – kupu, karena dia tahu semua kupu – kupu sebagaimana dirinya pasti senang pada suara Pang-Pangkut, burung yang dicarinya. Dari kawanan yang satu ke kawanan yang lain dia pun akhirnya menemukan segerombolan kupu-kupu beraneka warna sedang menari mengelilingi seekor Burung, terdengar bunyi “Pang-Pang-Kuuut... Pang-Pang-kuuut” dari tengah kawanan itu.
Setelah berpekan – pekan dilaut dan mengelilingi tanah jawa akhirnya kupu – kupu bertemu dengan yang dicari, bergegas ia menyampaikan keadaan dan harapan hewan – hewan di Tanah Kayong agar Pang-Pangkut dapat kembali menjadi tuah di negerinya sendiri. Namun pang-pangkut tak segera menanggapi, diajaknya Kupu-kupu berkeliling Jawa, dilihatkannya pemandangan bermacam rupa, gunung – gunung yang tinggi melintas awan, sawah yang luas dan lebatnya pepohonan, seakan ia ingin mengatakan bahwa ia betah di Pulau Jawa.
Namun kupu – kupu tak sedikitpun menikmati, dia tak mau bersenang-senang diatas penderitaan orang lain, di sini ia senang sedang disana, di negerinya sendiri kawan-kawannya sedang menderita kelaparan. Karena melihat kesungguhan Kupu – kupu yang tetap berusaha membujuk rayu Pang-Pangkut untuk kembali ke Tanah Kayong walau berkali – kali ditolak, akhirnya Burung bertuah kesuburan itu luluh juga, esoknya dia mengajak kupu – kupu pulang ke Tanah Kayong.
Adik-adikku sekalian,
Sekembalinya Burung Pang-Pangkut ke Belantara Tanah Kayong, tanam-tanaman kembali subur, buah-buahan kembali menghasilkan. Kupu – kupu bergembira mewarnai langit dengan sayapnya yang bermacam warna, Kelempiau bernyanyi tak henti, pelanduk menari, semua hewan larut dalam suka cita.
Sampai sekarang, burung Pang-Pangkut tak lagi pernah meninggalkan Tanah Kayong, kicaunya kadang terdengar penanda musim durian akan datang, penanda kuini akan berbuah, penanda musim segala buah akan datang. Dan tahulah kita dimana dia berada, dia selalu ditemani sekawanan kupu-kupu bermacam warna “Pang-pangkuuut... Pang-pangkuuut’’

Selesai

Dikisahkan kembali oleh Agus Kurniawan dari Buku Burung Pang-Pangkut, Seri Cerita Rakyat Tanah Kayong Karya M.Dardi, D.Has dan Yudo Sudarto


Postingan Populer