Robohnya Penguasa Kuala Kedondong
Gigantium Spondias dulcis Forst, tanaman yang tumbuh ditengah teluk berpasir pantai Kuala Benua Lama itu tak terlalu banyak yang mempermasalahkan walau sudah menjadi Raksasa karena abad – abad yang disaksikannya, datang dan pergi.
Pohon berukur raksasa dijaman itu bukan hal aneh, hanya karena zaman berubah lah pepohonan itu berkorban diri menjadi seakan induk manusia, menjadi pelayan dan pemelihara.
Bodohnya manusia, ribuan tahun berlalu, bukannya susu berbalas madu, namun tuba’ lah yang diterima alam, pohon nan rindang terkapar tumbang karena keserakahan manusia.
Di Kuala Kedondong, semuanya berjalan serasi, manusia dan alam, Manusia tak merasa terusik dengan pohon raksasa itu sedang alampun belum merasa terdesak dengan kebutuhan manusia. Hanya tempat berteduh dan mengambil kayu bakar serta sesekali untuk mengobat sakit-lah yang menyebabkan penguasa hutan kuala Kedondong itu diganggu. Mereka anggapnya Ibu bumi, dan mereka anak – anak bumi.
Namun, berabad sudah sejak kaki pertama datang Ke Kuala ini, awalnya mereka berhuni di dalam sungai Kayong membentuk Sub – sub suku mulai dari Tuk Upui dan Tuk Ubut hingga Patih Inte dan Demung Juru yang terkumpul dalam sebutan Orang Kayong.
Mereka kini butuh hunian yang lebih banyak, sejak tragedi pembalasan sang Nabo di hulu natai kemuning, puak pemecah ombak terpecah ke berbagai tempat, di Kepulauan Sukadana mereka bergabung dengan sepupu mereka, puak Nek Takon, membentuk pemukiman di tanah baru yang menghubungkan Pulau mereka dengan pegunungan
Teluk besar di pesisir barat Kalamanthana ini pun tak luput dari huniannya. Kian hari Semakin ramai kampung pesisir nan damai tersebut. Berladang ditanah subur cukup menjanjikan bagi peranakan campuran Yunan dan Arya itu. Namun karena itu pula mereka berfikir untuk menyingkirkan sang Ibu Bumi.
Orang – orang mulai merasa tak nyaman dengan adanya Pohon Kedondong Raksasa di atas kepala mereka. Ranting dan daun pohonnya sempurna menutupi Negeri Baru itu, jangankan menjemur padi, menjemur diri pun mereka tak bisa.
Bila mereka ingin mengeringkan padi, haruslah Jalur mereka di isi penuh untuk dibawa ke Daerah yang jauh diluar kuasa Sang pohon, agar mendapat cahaya Batara Surya. Berpadang – padang tikar mereka di bentang hingga berubah nama laman kosong itu menjadi Laman Padang Tikar dibagian agak kedalam sedikit, dekat dengan pemukiman saudara bergelang benang mereka di Mayak.
Maka Demung Kampung di pinta pendapatnya, dan titah pun turun, Sang Penguasa Hutan Belantara ditepian pantai ini harus ditebang, bukan tak menghormati namun demi kelanjutan anak turun. Sang Ibu Bumi harus dikorbankan demi anak cucu.
Adatpun dilaksana, bermohon izin pada Duata Hyang Nan Di Pucuk, penguasa alam raya, binatang disembelih dan pesta diadakan. Kapak batu peninggalan tetua kampung dikeluarkan, lalu satu persatu kaum lelaki negeri yang masih baru berdiri itu mencoba menebang. Namun bukannya roboh, tiap kali luka menganga terkena kampak batu, luka itu kembali merapat. Riuh terdengar dipucuk sang penguasa kuala. Kata dukun, peri pohon sedang berpesta.
Mereka berhenti setelah tujuh hari mencoba. Solusi terfikirkan, mengapa tidak mengumpulkan seluruh puak? Mulai dari Sepupu mereka di utara, anak turun nek Takon, hingga perhuluan dan saudara mereka dari kaki gunung melayu semua diundang.
Maka berdatanganlah para Jago hendak menumbangkan si Pohon raksasa yang terngiang kabar tak bisa ditebang karena telah berhuni peri – peri penguasa tanah nan bertuah, mereka ingin menguji ilmu.
Berita itu tak main – main, berbagai senjata penebang sudah digunakan namun tak juga mampu memberi tumbang pangkal pohon itu. Perimbas turun perimbas tumpul, demikian pula batu kapak yang dibawa suku laut. Beliung batu mereka ayunkan dan patah menjadi dua.
Ilmu penyembuhan diri getah pohon raksasa itu begitu cepat, hingga luka tak berdiam lama dikulit tua nya, petang ditebang –pagi kembali lagi. Pada malam hari, terdengar bunyi gamal dan nyanyian suku dari puncak kedondong, para peri masih berpesta dalam lindungan sang ibu bumi.
Pada suatu malam, di tengah riuh peri pohon dan kegelisahan penduduk kampung, mereka ragu akankah kepentingan anak cucu lebih berharga dari keberlangsungan ibu bumi? Tempat yang sesungguhnya mereka agungkan sebagai personifikasi dari Sang Duata Nan Agung, bertanya – tanya mereka dalam hati, benarkah tindakan ini?