PELAJARAN SEDERHANA BERNILAI LUAR BIASA

Hari itu ada pelajaran yang dapat kita ambil, dari dua orang yang sedang berhadap – hadapan.

Salah seorang dari mereka usianya sudah lanjut, matanya  buta, hidungnya patah. Seorang lagi kakinya hanya tinggal sebelah, Urwah bin Zubair namanya, keponakan Rasulullah, Ayahnya Zubair bin Awwam adalah sahabat terkemuka sekaligus sepupu Rasulullah, Ibunya Asma’ rha adalah kakak dari Aisyah binti Abu Bakar rha, Ummul Mukminin-Istri Nabi. Di kedua sisinya lelaki pincang itu memiliki hubungan dengan Rasulullah.

Mereka sedang tatap menatap satu sama lain dalam majelis Khalifah Walid bin Abdul Malik. Ada pelajaran yang dapat kita ambil hari itu; bahwa Allah benar – benar Maha Kuasa.

Ketika dalam perjalanan dari Madinah ke majelis Khalifah di Syria, Urwah bin Zubair terkena penyakit yang menyebabkan kakinya harus di amputasi. Begitu tersadar setelah pingsan karena dipotong kakinya, ia dihadapkan pada kabar yang lain, satu dari ketujuh anaknya meninggal! Dan dengarkanlah apa jawaban Urwah ketika Khalifah Urwah menyatakan belasungkawa padanya:

“Aku diberi tujuh anak, diambil satu. Aku diberi dua kaki dan dua tangan, diambil satu. Sungguh, bila Allah menguji, betapa ia dalam waktu yang lama telah memberi kenyamanan. Bila ia mengambil, betapa dalam waktu yang lama ia telah memberi. Aku berharap, bisa berkumpul di surga kelak dengan apa – apa yang telah Allah ambil.”

Pelajaran itu adalah Apa yang disisakan oleh Allah, jauh lebih banyak dari apa yang Dia ambil. Anaknya meninggal satu masih tersisa enam. Bahwa kelapangan yang disediakan Allah, jauh lebih luas dari kesempitan yang Dia ujikan. Seharusnya demikian kesadaran bagi jiwa yang memiliki Allah sebagai Tuhannya, bahwa Ujian adanya periodik sedang Ketenangan adanya berkelanjutan, bagai lautan yang tak akan indah bila ia senantiasa tenang tanpa ombak sedikitpun. Itulah pelajaran kesadaran bertauhid, bahwa Allah adalah segalanya sedang kita bukan apa- apa.

Hari itu ada pelajaran yang dapat kita ambil, dari saling tatap kedua orang itu, yang satunya tua dan patah hidung dan satunya lagi telah kehilangan sebelah kakinya. “Apa yang membuat keadaan engkau seperti ini?” tanya Urwah kepada lelaki dihadapannya.

“Dulu aku tinggal di suatu kampung. Tidak ada di kampung itu orang yang lebih kaya dibandingkan aku. Tidak ada yang lebih banyak harta, kekayaan halalnya dan keluarga yang melebihi aku. Lalu datanglah banjir di malam hari. Sekejap banjir itu melenyapkan keluargaku, hartaku, dan kekayaanku. Hingga matahari pagi terbit, aku tidak lagi memiliki apa-apa kecuali anakku yang masih kecil dan seekor unta. Tiba-tiba unta itu lari dan aku ingin sekali menangkapnya. Belum jauh aku mengejar, anakku yang masih kecil itu menangis dengan keras. Aku berbalik. Ternyata anak itu sudah dicabik -cabik oleh serigala. Aku tidak bisa menyelamatkan anakku. Ia tewas. Maka aku lari mengejar unta ku. Tiba -tiba ia menyepak wajahku, merusaknya dan mematahkan hidungku serta membuatku buta” jawab lelaku tua itu.

Urwah kembali bertanya “ bagaimana perasaan engkau saat itu?”

“Aku hanya mengatakan, Alhamdulillah, Ya Allah segala puji hanya milik-Mu, Engkau masih menyisakan untukku hati yang sabar dan lisan yang banyak berzikir.” Jawab nya.

Lelaki tua berhati sabar itu, adalah cermin bagi Urwah, sedang Urwah juga cermin bagi lelaki tua itu. Mereka saling berhadapan, dan kita mengambil pelajaran bahwa bagi Allah, tak ada yang tak mungkin, Dia yang Maha memberi, maka Dia yang berhak untuk mengambil kembali. Demikian pula kita juga yakin, selama jiwa kita subur dalam ketaatan, sabar dalam keimanan dan ridha pada ketetapan-Nya, maka Allah Maha mengembalikan apa yang hilang, mendatangkan apa yang tiada, karena semua ada didalam genggaman Allah.

Kita juga sedang bercermin, terhadap segala bencana dan kedukaan yang dihadapi oleh orang lain, karena dari wajah-wajah itu akan terbit sebuah kesadaran bahwa bisa jadi kita sedang atau akan berada di posisi yang sama. Kesadaran bahwa kita sedang berenang dalam lautan yang sama dengan mereka yang sedang dalam bencana dan derita akan membawa kita pada kesadaran bahwa kita ini lemah, yang dengan sepersekian detik bisa Allah balikan keadaan kita, dari kaya menjadi hina, dari bahagia menjadi derita. Semua milik Allah, bahkan diri kita sendiri. Jika kita menyadari siapa diri kita sebenarnya yang lemah ini, maka kita akan menyadari bahwa kita sedang berhadapan dengan Allah yang maha kuat dan menguasai segala sesuatu. Kesadaran itulah yang akan menampilkan sebuah skala yang sudah lama kita pelajari dan rasakan, sebuah skala; sampai dimana sebenarnya nilai tauhid “bahwa hanya Allah yang kita sembah, dan kita Mohon pertolongan Nya” yang ada didalam diri kita?

Kesadaran bertauhid merupakan akumulasi dan puncak dari seluruh kesadaran kita, bahwa kita hanyalah manusia. Bahwa hanya Allah sajalah yang Maha kuasa. Yang membuat kita ada. Meminjami kita semua yang kita miliki saat ini. Memberi kita nafas dan (bahkan) kedipan mata, tapi Allah tak pernah memberikan kita hak untuk memilikinya, kita punya hak guna pakai, tapi bukan hak menguasai. Di titik inilah Urwah dan Lelaki tua itu sampai, bahwa apa yang mereka punya sejatinya adalah Milik Allah. Maka ketika hal tersebut menghilang, maka mereka paham, Allah sedang mengambil kembali apa yang memang hak Nya. Itulah kehidupan yang berkisar dan berputar pada Allah, kita dari Allah dan sedang berjalan untuk kembali kepada Allah. Maka seluruh tindakan, fikiran dan kesadaran kita harusnya selalu kembali kepada Allah. Dan dengan kesadaran bahwa kita hanyalah manusia, maka kembalikanlah seluruhnya kepada Allah, duka gembira mu.


Bila harus di deskripsikan, kita layaknya perahu yang sedang berada dilautan, ada yang sedang  berproses menuju tenggelam, ada yang perahunya bocor dan berusaha untuk menambalnya, serta ada pula yang dengan tenang melaluinya diatas kapal. Itulah keadaan kita masing-masing.

Pertama ada  yang kesadaran bertauhidnya defisit, mereka sedang tenggelam, bahkan ketika sudah diingatkan dengan bencana dan musibah, masih saja kesadaran itu kurang. Mereka meratap, mereka berputus asa dan menyalahkan keadaan. Mereka tanpa sadar sudah hampir tak memiliki kesadaran akan hadirnya Allah, sebagai pembela dan penolong. Kita sering melihat, ditelevisi orang yang meronta-ronta karena kehilangan orang yang disayangi, yang bunuh diri “hanya” karena belum lulus ujian. Bahkan nekat menerjunkan diri ke lembah laknat, karena merasa sudah hina dan hilang kehormatan. Semoga Allah melindungi kita dan keluarga dari yang demikian.

Ada pula yang kesadaran bertauhid nya standar, kurang tidak, lebih masih jauh. Mereka inilah yang kesadaran bertauhidnya hilang datang. Dan pada titik inilah kebanyakan dari kita berada. Kesadaran kita sesungguhnya defisit namun masih bisa ditambal dengan kesadaran reaktif kita pada sesuatu yang kita rasakan, lihat dan dengar. Itulah mengapa kita sering menangis dan ingat Allah  ketika melihat gambaran bencana, namun segera kembali lagi ke titik kesadaran terendah kita. Itulah kita, siapa yang terus memperbaharui kesadaran reaktif atas nilai – nilai Tauhid maka ia akan terus berada diatas garis standar dan masih punya kemungkinan selamat, namun yang terus membiarkan perahunya bocor dengan lalai-nya mereka dari mengingat Allah dalam susah dan senang, akan  tenggelam.


Lalu bagaimana dengan Urwah dan si lelaki tua? Inilah yang kesadaran Tauhidnya Surplus, mereka mengambil jalan yang damai dalam kuasa Allah. Lalu saatnya kita kembali kedalam diri, sudah sejauh mana kesadaran kita? 

Postingan Populer