Nabo (Pisahnya Para Penuai Belantara)
Sumber Foto : bagan at Kabung Island http://zulmspainting.blogspot.com/ |
Orang asing berkulit sisik menjadi pusat perhatian diujung kampung, terpaku matanya menatap kepala Ular besar yang dipaku di gerbang. Berdiri dengan air mata meleleh. Orang – orang bertanya dari manakah asalnya, karena dia tak bergelang benang ataupun kepuak di lengannya, bersisik pula.
Dia berkata hendak bertemu Demung kampung. Dari daerah hilir Teluk Sengkuler, katanya dihadapan Demung saat ditanya asal. Dia bergegas pulang dari Ulak Majo karena mendengar berita tak baik menyangkut anaknya yang dititip dengan seorang teman di Sengkuler.
Demi mendengar cerita lelaki berkulit sisik itu teringatlah salah seorang dari penduduk, tentang kejadian aneh yang menimpa dirinya saat menuju kampung ini. Tengah dia bergalah dari Hilir kuala Kayong dia mendengar gelisah aneh daun dan rerumputan, lalu berbisik sebuah suara yang membuat bergidik, sebuah suara bertempo berat, menyusup cepat. Suara Bisik gaib berasal dari sosok manusia ditepian Lubuk berhuni Nabo Sengkuler, sang Naga penguasa Sungai.
Sampaikan pesan dari Sengkuler ke Ulak Majo, bahwa anaknya meninggal dibunuh oleh orang – orang patih Inte dan Demung Juru.
Sesampainya di Ulak Majo, air bergejolak deras, berputar – putar rakit bambunya. Maka disampaikanlah bisikan yang diterimanya dari Teluk Sengkuler. Air menjadi tenang kembali. Cerita itu kini seakan menemukan penjelasannya, lelaki bersisik itu kehilangan anaknya, lelaki itu adalah sosok gaib bersaru manusia, dia Sang Nabo.
Kisah itu disampaikannya pada rapat petinggi kampung atas permintaan si Lelaki Bersisik, meminta kepala Ular raksasa yang terpajang di Gerbang kampung. Atas cerita itu, walau selama ini tak pernah terjadi kontak dirinya dengan Nabo, karena ada semacam perjanjian alami sejak rombongan Tuk Upui berdiam bahwa tak boleh saling mengganggu, maka di berikanlah kepala ular itu.
Pesta berlanjut, tak ada yang memperhatikan bahwa sebelum si Lelaki Bersisik memanggul kepala raksasa itu, dia telah menusukkan buloh temiang di tengah gerbang, hanya dia dan demung kampung yang tahu bahwa bambu itu hanya bisa dicabut setelah 7 hari, masa dimana dia akan datang kembali.
Saat penduduk telah bersiap kembali ke ladang dan huma mereka di hulu dan dataran yang lebih tinggi, mereka terkejut atas berita bahwa ada sebatang buloh yang tertancap di tengah gerbang kampung. Tidak muda, tidak tua, tidak anak, tidak ibu, tidak orang biasa, tidak pula orang sakti, bahkan patih inte pun tak mampu mencabutnya. Maka beralihlah pandang mereka pada Sang Penghubung alam jasadi ke alam gaib, yang mata dan telinganya telah tembus menerima pesan dari nenek moyang, yang dalam wadak nya terkurung kuasa alam, sang Demung, Demung Juru.
Dia sendiri sudah tahu, inilah buloh temiang yang ditanam si Lelaki bersisik, 7 hari sudah sejak pertemuan itu. Maka dengan kemampuan kanuragan hasil latih ruhani yang luar biasa, dia berhasil mencabut. Semua bersorak, semua gembira, apalagi anak – anak yang melihat ada mata air menyembur dari lobang temiang itu. Hanya Demung Juru yang terdiam, dia mengumpulkan seluruh keluarga dirumah panjangnya. Sang Nabo sudah datang.
Demung Juru mengingatkan pada keluarganya, jika Sungai bergejolak hebat, maka itu bukan lagi pasang biasa. Nabo katanya, akan menepati janji. Jika demikian maka dia mengingatkan puaknya untuk menuju pada 2 perahu besar yang ditambatkannya di Hulu dan Hilir.
Tak lama, belum lagi panas matahari mengangkat butiran embun di pucuk dedaunan rimba, air menyembur kencang tak hanya dari lubang temiang, tapi dari tiap depak tanah kampung itu. Semua berlarian, semua ketakutan. Rumah – rumah amblas.
Maka dengan sedikit perbekalan yang bisa dibawa, mereka berlarian tak tentu arah membawa sanak keluarga, puak para pemecah gelombang terpisah untuk selamanya. Ada yang berlari ke darat, menyusuri laman batu besi hingga kehulu. Karena yang dibawa hanya sedikit beras, maka beras itu dibuat suman, semacam lemang. Di kaki gunung tinggi mereka tak lagi menemukan bambu tipis pemasak Suman, bambu yang ada pun sudah me-layu. Maka diputuskan lah mereka berhenti disana, awalnya pemukiman sederhana, lalu menjadi laman, dan dikenal lah laman itu dengan nama Laman Sungai Melayu, karena disanalah bambu suman mereka menjadi layu, dan gunung tinggi itu mereka namakan pula Gunung Melayu. Anak turun nya bersebaran di Tumbang Titi, Jelai Hulu, Marau hingga Manis Mata.
Adapun Kisah keluarga Rumah Panjang itu, yang menerima wasiat dari sang Demung jika sungai bergejolak hebat untuk menuju ke perahu besar yang sudah disiapkan, tak menyangka kejadiannya secepat itu. Tak ada persiapan apa – apa, mereka menyadari bahwa mereka akan berpisah selama – lamanya karena itu perlu sebuah tanda kenangan bahwa mereka berasal dari belikat yang sama. Karena semua barang habis tenggelam bersama rumah panjang mereka dan yang selamat hanya Sebuah Dulang pemberi makan babi, maka dulang tersebut mereka belah menjadi dua. Setelah itu mereka menuju sampan di hulu dan di hilir kampung, mendayung sekuat tenaga menghindar dari Amuk sang Nabo.
Ketika semua telah menjadi tenang, mereka tak lagi hendak kembali. Mereka memandangi untuk terakhir kalinya Kampung yang sudah menjadi men-danau itu, mereka mengingat – ingat lagi dimana rumah panjang sang Demung Juru dan Patih Inte, yang menjadi dua danau besar, danau demung juru dan danau patih inte.
Yang perahunya di hulu mereka terus memudiki sungai Kayong, hingga mencapai daerah Batu Lapis, Sande, pusaka Sebelah Dulang pengumpan babi mereka keramatkan dan tersimpan baik hingga saat ini. Sedang yang kehilir mencapai daerah dekat pesisir dan berlaman di Kampung Mayak, Tanjung pura.
Kawan, Kayong sesungguhnya terpisah dari keseluruhan budaya Kalimantan, dirinya unik dan tidak bisa dipandang dalam bentuk penjelasan sederhana; semacam penjelasan Melayu - Daya’ sebagaimana yang kau lihat di umumnya Kalimantan Barat. Hikayat ini adalah sebuah lambang antropologis dari sebuah kenyataan sesungguhnya tentang muasal penduduk asli Kayong dengan penanda Sebelah Dulang Pengumpan Babi-nya.
Orang yang berkayuh sampan ke Hulu disebut lah sebagai ‘orang Ulu’, yang lari ke Darat menjadi ‘orang darat’ demikian pula lah yang ke muara mendekati laut menjadi orang ‘laut’.
Dengarkanlah orang tua – tua dari golongan orang laut yang kini teridentifikasi menjadi suku Melayu, tak pernah mereka menyebut Orang Daya’ melainkan mereka sebutnya ‘Orang Ulu’ atau ‘Orang Darat’. Sebaliknya tak pernah juga orang laut itu disebut Melayu melainkan disebut niaga atau orang laut.
Karena jalannya waktu dan kondisi penyama rataan dari para ahli Baratlah kemudian kita terpisah – pisah menjadi Melayu bagi Muslim dan Daya’ bagi pemeluk agama Nasrani, walau itu masih perlu dikaji kembali.
Kawan, apa yang tersisa pada diri kita sebagai puak pemecah ombak, penakluk rimba tepian Sungai Kayong? Ada satu penanda utama, turunan Patih Inte dan Demung Juru berpantang memakan Ular hingga kini. Dan lihatlah jika ada acara seperti sunatan bagi Orang Melayu, kita masih diikatkan gelang benang atau di Daya’ diikatkan pula Kepuak, layaknya para Lelaki perkasa pemecah gelombang, Tok Bubut Bergelang Benang. Demikian hikayat ini.