MENANG TANPA KEMULIAAN
Kita tak akan lelah menjadi seorang muslim, namun bagaimana jika status kemusliman kita harus berbenturan dengan proses meraih prestasi? Agar kita tak lelah menjadi seorang muslim, mungkin ini waktunya kita merangkai jati diri dalam pengetahuan tentang konsepsi prestasi.
Prestasi adalah satu sisi penting yang terangkai dalam kepandaian pelaku, dukungan situasi, mungkin juga kelemahan lawan, serta takdir Tuhan. Namun cara mencapainya adalah situasi yang harus terhormat, berdiri tegak dihadapan lawan, dan mensyukuri keadaan. Tanpa kehormatan kemenangan tiada artinya.
Alqami namanya, seorang perdana menteri pada Khalifah terakhir Abbasiyah, Al Mu’Tashim, sebelum kekhalifahan baghdad hancur luluh oleh pasukan mongol. Peperangan berbanjir darah hingga selutut kuda itu adalah sebuah kisah tentang prestasi, tentang kemenangan seorang Alqami dalam makna yang diperjuangkannya dengan pengkhianatan dan kebohongan.
Alqami sangat membenci kaum sunni, hingga empat belas tahun penghargaan Abbasiyah terhadapnya hanya bagaikan air di daun talas bagi nya. Hanya karena Abbasiyah Sunni maka dia ingin menumbangkan induk semangnya itu. Dia sengaja memangkas gaji pegawai, menilap uang pajang, melemahkan penjagaan perbatasan dan mengurangi jumlah pasukan.
Al Mu’tashim terlanjur percaya kepadanya, maka ketika dia menyarankan agar Al Mu’tashim beserta seluruh keluarga keluar ke gerbang Baghdad menanti pasukan Holako Khan pemimpin bangsa mongol dengan menawarkan perdamaina, maka khalifah tua itupun menurut.
Padahal disisi lain, Alqami telah mengirim surat kepada Holako, bahwa dia tak boleh menerima tawaran itu, dan menyarankan agar membunuh Al Mutashim beserta seluruh keluarganya, dia juga mengirim peta Baghdad agar dengan leluasa Holako meruntuhkannya.
Maka sejarahpun mencatat, Alqami mendapatkan kemenangannya, dengan banjir darah dan air mata. Prestasinya adalah kemenangan tanpa kehormatan, dia sudah mengorbankan agama, kehormatan diri, dan kepercayaan.
Beberapa hari setelah peristiwa penghancuran baghdad oleh pasukan Mongol, Alqami berkeliling, melihat prestasinya, menjejakkan kaki di limbah darah tanda kemenangannya, Alqami kemudian bertemu seorang perempuan tua yang berkata kepadanya “Wahai Ibnu Alqami, Apakah seperti ini perlakuan Bani Abbasiyah kepadamu?”
Perkataan itu menyentak kesadarannya. Mungkin ia teringat masa empat belas tahun Abbasiyah memanjakannya dengan gelimangan kemewahan, kehormatan dan kepercayaan. Tapi ia membalasnya dengan kebengisan, pengkhianatan, keji diatas segala kekejian. Setelah hari itu, Alqami tak lagi bisa ditemui, ia mengurung diri didalam rumah, ia menyesal. Beberapa hari kemudian, Alqami ditemukan tewas dirumahnya. Demikianlah Alqami beserta mimpi-mimpinya tentang kemenangan yang dalam sangka nya bisa didapat dengan mengorbankan kehormatannya.
Tidak ada kemenangan dalam kejahatan, tak ada kemenangan dalam kekalahan diri, kemenangan sejati hanya akan didapat oleh yang telah berjuang dengan sepenuh hati. Alqami tak sendiri, banyak diantara kita yang seperti itu, mengorbankan apa yang kita punya hanya untuk sebuah kekalahan, dan kita terkalahkan oleh kekalahan kita itu.
Jangan kira kemenangan yang bernama Senang, Bahagia, Hobby, atau Juara I yang di raih dengan mengorbankan harkat dan martabat baik dengan melepaskan pakaian kehormatan kita, menyogok juri, kerjasama dengan panitia adalah sebuah kemenangan hakiki, karena kemenangan itu hanyalah kemenangan tanpa kehormatan. Kehormatan mu sudah diobral habis dilapangan pembantaian harga diri, siapa yang mengorbankan harga diri untuk kemenangan, sama saja dia sedang mempersiapkan kekalahan. Hal yang sama juga terjadi pada proses mencontek oleh siswa. Apa yang kau dapat prestasi? Prestasi yang berselimut rendahnya harga diri? Prestasi tanpa kebanggaan?
Kita telah diberi kehormatan bernama Islam, maka jagalah ia sepenuh hati, jika kau buka jilbabmu hanya karena tekanan panitia lomba dan pelatihmu, jika kau hancurkan penjagaan diri mu hanya karena cinta yang belum tentu abadi, jika untuk trofi kau lakukan kecurangan dengan koneksi maka sama saja kau telah lelah menjadi seorang muslim, kau telah menjual ke Islaman mu dengan harga yang teramat murah. Karena kemenangan hanya didapat oleh perjuangan yang penuh dan menjaga kehormatan dalam proses. Hidup adalah proses pemuliaan dan pengayaan diri, bukan sekedar prestasi tapi kemuliaan hakiki.