Melabuh Cita
Uwais Al Qarni lahir ketika cahaya Rasulullah bersinar indah di dataran Arab, sinarnya penuh menyinari seluruh jazirah. Seluruh keturunan Ismail terpanggil satu persatu ke Madinah untuk bertemu dan berguru ke Sang Cahaya Ilmu, Muhammad Al Mustafa. Demikian pula Al Qarni, remaja ini demikian rindu akan Rasulullah (dan siapakah yang tidak rindu) ingin mendengar merdu suara Al Quran yang terlantun dari bibir beliau. Namun Perjalanan nya begitu jauh, ibunya tak mau ikut, tak pula ia rela meninggalkannya, untuk kebaktiannya dan kasih sayangnya dia bersedia untuk tetap tinggal memelihara sang ibu, sementara teman – temannya telah pergi untuk menuntut ilmu di Universitas Kehidupan Madinah.
Haripun berlalu, tahun beranjak, masa berganti, Al Qarni akhirnya tak bisa menahan gravitasi cinta Rasulullah, dan ibunya luluh. Ibunya memberi ijin kepada Al Qarni untuk pergi dalam perjalanan Kerinduan, namun ia di beri batas waktu, bila waktu yang telah ditentukan habis, maka ia harus pulang. Betapa senangnya Al Qarni, ia bergegas pergi, waktu teramat singkat, rindu begitu samudera.
Perjalanan dilakukannya dengan cepat, siang malam tak henti, tanpa istirahat, dipacunya diri menembus waktu. Sampai lah dia di Madinah yang Gemilang, ia tatapi debu yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah, dia hirupi udara yang meniupkan aroma Rasulullah, dia sentuh dinding masjid Nabi, dia tesenyum pada setiap orang di kota itu, kota Nabi. Dan ke rumah empat meter persegi yang menempel di
Masjid itulah Al Qarni kini menuju, itulah rumah sang Manusia penuh Cinta, Muhammad.
Dia mengucap salam, dia mengetuk pintu Rasulullah, dia menatap rumah itu sambil menahan rindu. Dan jawaban suara halus didengarnya dari dalam, suara perempuan, Aisyah yang menjawab. Aisyah mengatakan Bahwa Rasulullah sedang melakukan perjalanan, mungkin sedang perang. Maka dengan air mata berlinang di pipinya, dia duduk di depan pintu Rasul, dia menangis tersedu, duhai rindu kapankah akan berakhir.
Waktunya berakhir, Rasulullah belum lagi datang. Dengan sedih hati Al Qarni meninggalkan kota dimana cita-citanya terpatri, belajar di kota itu. Dia pulang kepada sang bunda, merawatnya dengan kasih, hingga akhirnya kesendirian bunda yang ditemaninya itu berubah menjadi kesunyian kematian.
Tinggallah Al Qarni dan penyakitnya, hingga Rasulullah meninggal dia tak sekalipun bertemu dengan beliau. Sehari-hari Al Qarni mengerjakan apa yang dapat dikerjakannya untuk menyambung hidup, lepas itu, rindunya tertumpah lewat doa yang terlantun lirih dari pondoknya yang sederhana. Hingga datanglah waktu manusia berkumpul, Haji Akbar di Masa Umar Bin Khatab.
Al Qarni ikut dalam rombongan sukunya, dia menjadi pelayan bagi orang-orang dari sukunya, demikianlah caranya mendapatkan biaya haji. Perjalanan suci itu, juga adalah perjalanan penuh pengorbanan, karena itulah haji disebut penyempurna penghambaan.
Namun tak dinyana, Umar Bin Khatab menanyakan pada orang-orang sukunya tentang seseorang bernama Al Qarni yang berpenyakit belang, orang pun keheranan, siapakah orang ini, Hingga Umar pun menanyakannya?
Lalu bertemu lah dia dengan Umar Al Faruq, Umar menangis bertemu dengannya, lalu meminta di doakan olehnya, dia pun mendoakan Umar. Demikian pula Ali Bin Abi Thalib. Demikian pula para sahabat yang utama. Semua orang bertanya – tanya mengapakah Al Qarni, si orang tak dikenal, si pelayan kampung, si pencari kayu bakar, di mintakan doanya oleh para sahabat yang tentu lebih utama dari dirinya?
Maka Umarpun bercerita, bahwa ketika Rasulullah mendengar dari Aisyah tentang seseorang bernama Al Qarni yang menangis rindu di pintu Rasul, maka Rasulullah pun berkata pada Umar dan yang lainnya, bahwa bila mereka bertemu dengan seseorang bernama Al Qarni yang berpenyakit belang maka mintalah doa padanya, karena doanya terkabul.
Demikianlah sahabat itulah Al Qarni, padanya aku berkaca, tentang keterbatasan kesempatanku untuk meraih apa yang terpatri didalam hati karena Insya Allah baktiku kepada ibuku, inilah kisah penghibur hatiku. Dan Al Hamdulillah, Allah memberikan setitik ilmu padaku, setitik ilmu tentang rindu yang kan berbuah manis dalam telaga baktiku. Duhai ibu padamu aku lautkan citaku, hingga kelak Allah labuhkan nya di pantai Cinta Nya. Duhai Rindu.( Aku menangis)
*Uwais Al Qarni,Sang Penghuni Surga
sumber lanjutan bisa dibaca di wikipedia