Al Muzani dan Kesungguhan kita dalam Ilmu
Al Muzani adalah sosok yang dikenal sebagai sosok muda yang sangat gemar belajar sejak masih belia.
Di Mesir hari itu ia lagi-lagi terserang kegundahan jiwa, terjebak dalam lingkupan penyakit pemikiran. Intinya Al Muzani sedang mendalami tauhid dan eksistensi ketuhanan Allah dengan logika-logika rasional murni.
Semisal tentang sifat – sifat Allah yang dipertanyakan dengan membandingkan sifat manusia. Tentang taqdir, apakah manusia punya hak pilih atau terpaksa. Demikianlah Al Muzani, menjadi sempit hatinya karena kerinduan yang ditempatkan pada tempat yang salah pada kebenaran. Ilmu yang salah membawa jiwa pada kesempitan dan kematian. Demikian pula ilmu yang benar akan membawa pada kelapangan dan kesuburan jiwa.
Lalu ia mendengar Imam Asy Syafii datang ke negerinya, Mesir. Ia pun menemui sang Imam. Dan mengeluhkan masalahnya. Lalu tanpa disangka Imam Syafii marah kepadanya “Tahukah kamu berada dimana dirimu saat ini?”
“ya, disini, ditempat ini,” jawab Al Muzani.
“Bukan. Kamu sedang berada di Taron, sebuah lautan yang sangat berbau, tempat dimana Firaun dan kaum nya ditenggelamkan” jawab sang Imam.
Imam Syafii melanjutkan, “pernahkah kamu mendengar Rasulullah memerintahkan kita untuk menanyakan hal -hal seperti itu”
“tidak” jawab Al Muzani.
“kamu tahu jumlah bintang di langit, dan kapan masing -masing terbit serta kapan tenggelam?”
“tidak”
“sesuatu yang kamu bisa melihat dengan mata saja kamu tidak tahu, sekarang kamu mau mengaduk-ngaduk secara ngawur seputar masalah penciptanya?”
Kemudian Imam Syafii bertanya lagi kepada Al Muzani tentang suatu masalah dalam soal wudhu.
“Tapi jawabanku salah” kata Al Muzani.
Lantas Imam Asy Syafii membagi soal wudhu kepada empat hal. “dan menanyakan satu persatu kepadaku. Tapi tak ada satupun jawabanku yang benar,” kata Al- Muzani.
Maka Imam Syafii marah dan berkata lagi “bagamana kamu ini. Ilmu tentang sesuatu yang harusnya kamu ketahui (wudhu) karena kamu perlukan minimal lima kali dalam sehari saja kamu tidak mengerti. Lalu kami membebani dirimu dengan ilmu yang tidak jelas tentang Tuhan. Jika muncul rasa ragu di dalam dirimu, katakan, ‘dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan selain Dia, dan Dia Maha Pengasih lagi Maha penyayang” (QS. Al Baqarah:163)
Sesudah dialog itu Al Muzani bertaubat dan mendalami Ilmu Fiqih, berguru kepada Imam Syafii secara langsung. Dan tentu saja Wudhu yang ia salah dalam menjawab itu, telah dipelajarinya secara mendalam. Hari ini kita mengenal Al Muzani sebagai Mujtahid mutlak dalam bidang Fiqih, bukunya Mukhtasar Al Muzani, yang disebutnya “kitab ini aku ringkaskan dari Ilmu Imam Syafii”. Imam Syafii pernah memuji muridnya itu dengan perkataan “Al Muzani adalah penopang dan penyebar mazhabku.”
Bahkan ketika Sang Guru wafat, Al Muzani pula lah yang memandikan gurunya itu.
Al Muzani adalah gambaran utuh tentang Hadits Rasulullah saw. :
“perumpamaan petunjuk dan ilmu pengetahuan yang di amanatkan Allah kepadaku untuk disampaikan itu adalah bagaikan hujan lebat yang turun ke bumi.
Dari sebagian bumi tersebut ada yang subur yang dapat mengendapkan air lalu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput-rumputan yang banyak.
Dari sebagian bumi tersebut ada yang gersang yang hanya dapat menampung air yang oleh Allah dimanfaatkan untuk manusia sehingga bisa dipergunakan untuk minum, meminumi ternak nya dan untuk kepentingan pertanian.
Dan hujan tadi juga turun ke bumi yang lain, hanya saja bagian bumi ini merupakan tanah yang keras dan datar yang tidak dapat menampung air dan (tidak pula) menumbuhkan tumbuh – tumbuhan.
Demikian itulah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah dan memanfaatkan apa yang diamanatkan Allah kepadaku, kemudian setelah ia mengetahuinya lantas mengerjakannya;
Perumpamaan orang takabbur yang tidak mau mempedulikannya; dan perumpamaan orang yang tidak mau menerima petunjuk Allah yang ditugaskan kepadaku untuk menyampaikannya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Al Muzani, adalah tanah yang subur, sedang kita mungkin adalah tanah yang gersang, atau mungkin tanah yang penuh batu, yang air tak menggenang, yang tumbuhan tak bisa hidup.