Wak Labus
Tepuk tangan mengiringi layar turun menutup panggung, lampu terang yang menyorot sepanjang pertunjukan drama lambat laun meredup dalam pandangan Fikri yang berdiri dari tempatnya semula sembari tersenyum, bangga.
"Hebat tadi tu bang... banya' yang ketawa" Maulida yang tadi memeran mak labus langsung mendatanginya, dia tetap tersenyum.
"Dapat dimane abang kite skenario cam ni...jangan yang baru dengar yang dah beulang - ulang pooon masih gak susah naknahan ketawak" Nah, ini dia Pak Labus masih dalam sarung yang mengalung dilehernya. Persis.Semua menyelamati, dia pun tersenyum menyambut, prestasi besar bagi sanggar teater yang sudah di ikutinya sejak Tahun pertama kuliah, tujuh tahun lalu, jadi sutradara pementasan dalam pekan teater daerah di Jakarta adalah mimpi yang terwujud, dan kaki yang menapak di tanah Jakarta adalah mimpi lainnya yang menyata.
Mimpi di satu masa ketika kepala gundulnya menatap langit dipucuk bukit pendamaran, sembari duduk bersadar pada tebing tanah liat di kampung kecilnya di pedalaman bagian barat pulau besar Kalimantan.
"Kau liat tadik tu bang?" Panca yang jadi Pak Labus mengembalikannya dari alam hayal "Pas Adegan BurongKebenat, semue ketawak tepingkal - pingkal" ya wajar saja, adegan itu diayang menulis. Cerita itu tentang satu dari banyak kebohongan pak Labus.
PakLabus bercerita dia pernah pulang berburu dengan tangan kosong, rupa - rupanyahari itu Senapang Lantak nya tak beruntung, tak satupun manjang atau kancilyang terhujam pelurunya, waktu melintas di jalan yang masih dirindangi pohontinggi dia melihat jejeran burung kebenat, Pak Labus segera mengendap disemak, sendawa diisikannya ke laras, kemudian pelor dimasukkan, siap sudah,sekarang bagian akhir, meletupkan senapang. Tapi Pak Labus urung melepaskantembakan, "Kalo ku tembak sekok yang laen pasti terbang, sayang lah..." Panca dengan pas menirukan Pak Labus, "jadi bagaimana ... " tanya para figuran di Warung kopi,
dalam cerita itu Pak Labus berkisah "Aku dak jadi nembak burung nyan, kucari dimane ujung cabang tempat die betengger...heeee... adaknye besak ak cabang nye te... ku tinting... Dar... " Panca yang sedang memerankan Pak Labus melompat dari kursi nya, bergaya teatrikal, mendatangi satu persatu figuran "Kau tau, kau tau... Sekali ku tembak, cabang nye patah, burung yang betengger di cabang nyanpun jatuk semue... Naaah, satu pelor tok semue burung... mantap kan?"
"Bang, ade telpon dari Rumi" Maulida membawakan HP nya yang tertinggal.
***
Enam Bulan sebelumnya,
Tujuh tahun dan Fikri tak pernah pulang sejak langkah kaki meninggalkan mak dan abah di kampung waktu dia pulang sebentar setamat Aliyah di Ketapang, bukan karena tak rindu tapi lebih karena malu. Rumi yang sudah bergelar sarjana memutuskan pulang, sedang dia tetap berdiri kokoh memasung diri di keramaian Pontianak, lambaian gadis dalam jilbab maroonnya hanya berbalas anggukan nanar, Pelabuhan Senghie menyembunyikan air matanya, air mata rindu.
Masih teringatnya ajakan Rumi di depan Asrama, jalan Haji Sood sudah beranjak sepi.
"Bang, Abah mao ketemu abang, sekali gik mah katenye..." dia mengisap rokok pelan mendengar Abah disebut, getir.
"Ngape bah bang, kalo sekedar malu, akupun malu bang... siape yang dak malu... tapi Abah bang, yang nyekolahkan kite sampai sekarang ni..." Fikri Mendengus, menatap langit berselaput polusi, bintang sudah lama merajuk pada malam - malam di langit kota ini. Dihembuskannya asap rokok, menghalau gelisah.
"Rumi, belum waktunye abang balik, sampaikan salam ke Mak, kalau dah tibe masenye, abang kan balik... tapi nanti dak sekarang"
“Abang dak ade rase rindu sikiii..t pun dengan Abah e bang? Abah bang, tengah nureh pun abang mah bang yang diomongkannye, udah dak mecam dolok giim bah bang... dak ade omonganlaen selaen abang... rindu bang orang tuak nyan...” terlihatnya sekilas airmata Rumi mengambang, sebelum gadis berselimut Jilbab lebar itu beranjak masuk ke dalam asrama putri.
“Belum waktunya” katanya berbisik pelan, “Tunggu sudah hilang lepas malu di hati abang..” hanya angin yang mendengar
***
Selepas perpisahan di PelabuhanSenghie itu, Rumi sering meneleponnya, si Gadis kecil yang dulu cemot mukanya oleh tanah lelabi itu kini telah mengajar di Madrasah Tsanawiyah Darul Qalam, tempat mereka menamatkan sekolah sebelum melanjutkan ke Ketapang lalu ke Pontianak. Masihnya terkenang olokkan kawan-kawan nya di Madrasah, terkadang didapatinya pula Rumi menangis tersedu karena olok – olokan yang sama, dan semuanya hanya karena lelaki itu, lelaki yang tiap pagi tertawa lebar di Warung kopi Mak-nya.
Lelaki itu yang menjadi Sebab tiap keluarnya airmata Rumi atau Darah di bibirnya habisberkelahi karena tak tahan menjadi bahan olok-olokan, YA sebabnya lelaki perokok berbibir tebal berkulit hitam yang suka tertawa terbahak, lelaki itu Abahnya sendiri.
Warung kopi Mak memang terkenal diseluruh kampung, letaknya di Penambangan menuju seberang sangat strategis, para kuli panggul—ah dikampung mereka dipanggil swakang—saban pagi singgah diwarung sebelum menyeberang mencari rejeki, dan sekalian mendengarkan bualanAbahnya, ya Abahnya tukang bual.
Selalu ada di setiap generasi orangyang berperan seperti Abah di Sungai Bening, dulu dia bangga nama Abahnya di sebut orang, diapula bangga abahnya bisa menjatuhkan sepuluh burung kebenat dengan sekali tembak, pun dia bangga abahnya bisa menyembelih Rusa di bawah pondok ladang tanpa ada yang membantu, juga dia sangat suka sekali jika sesekali abahnya bercerita pernah menolong seorang tauke cina dari Jakarta dari kejaran beruang, hanya dengan tangan kosong . Dulu dia bangga, sebelum otaknya bertambah paham bahwa apa yang diceritakan Abahnya adalah hal yang tidak mungkin, hanya bahan bualan. Dan menurutnya pembual Abah sudah keterlaluan, pada anaknya sendiri pun dia tega membual, sakitnya; cerita – cerita itu masih terekam jelas dibenaknya.
Sejak dia menyadari ada kata bernama malu, maka dia malu punya Abah sang pembohong besar, sejak itu dia benci pada Abahnya. Dia mengikis nama itu dari pergaulannya, tak ingin dia tahu jika Lelaki itu ayahnya sendiri. Kebencian menaungi batinnya.
Kebencian itu kemudian berpinak ketika masuk sekolah, mulai dari SD hingga Aliyah, ya bahkan di Ketapang—lima jam naiklongboat—pun Abahnya terkenal, rupanya para swakang yang memanggul tas penumpang ACI[1] sering bercerita sesamanya tentang Abah, para penumpang mendengar, lalu ceritanya dibawa buih pawan Ke Ketapang. Dan dia, Fikri si anak Pak Labus, bapaknya pembual anaknya pun demikian, begitu kata mereka.
***
“Bang, cepat balik, Ade musibah...” Suara Rumi menyentakkan kesadarannya, Musibah dan kematian adalah berita yang paling ditunggu tapi sekaligus ditolaknya dalam doa-doa pada Allah, “jika belum kikis benciku pada abah, janganlah cabut sempatku berbakti ya Allah”
“Abah bang...”Terdengar di seberang sana isakan tersendat, di-belakangnya samar Fikri mendengar surah yasin dibacakan...
“Ye, Abang besok balik am...”
***
Panca yang mengantarnya ke Bandara, sementara yang lain hanya menitip doa dan sedikit uang, mereka pula urunan membayar tiket Pesawat langsung ke Ketapang. Pesawat tinggal landas meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, di ketinggian dia masih saja takjub pada kepadatan ibu kota itu, walau masih di tepian utaranya. Pesawat menyusuri awan, lambat laun Jakarta terlupakan, berkali – kali Fikri menelan ludah untuk menyesuaikan tekanan udara ditelinganya, dia dapat itu dari Bang Yusman, seniornya yang banyak memberi pelajaran tentang Teater dan mendorongnya menulis.
“Pulang atau pergi ke Ketapang...” Seorang Bapak berpakaian Rapi disebelahnya bertanya, seorang tiong hua, Tauke.
“Transit pak, habis ini langsung pakai travel ke kampung di ulu” jawab Fikri sembari membenarkan duduknya
“Kalaubapak?”
“Saya ada urusan sedikit sekalian ingin ketemu kawan lama, mungkin sudah tiga puluh tahun tak bertemu” kata lelaki itu, dari jas-nya “urusan sedikit” itu bukan sesedikit gula, tapi sesedikit emas.
“Kawan saya pun dari hulu, dari SungaiBening” Fikri terlonjak kaget ketika nama kampungnya disebut.
“Saye pun dari Sungai Bening pak” refleks Fikri menjawab “tapi mungkin kawan bapak dari seberang kanan, kami seberang kiri” sadarnya
“Bukan, kawan saya juga dari Sungai Bening kiri, dulu saya ikut survey perusahaan tambang di Sungai Bening, entah bagaimana kemah kami diserang beruang, semua lari tapi saya yang memakai kantong tidur tak dapat berdiri cepat” dia menunjukkan bekas luka di lengannya, sisa dari sobekan dalam “ini kena cakar beruang, beruntung ada orang kampung yang ikut kami, dia melemparkan puntung kayu api ke beruang itu, puji Tuhan, beruang itu meninggalkan saya, orang kampung itu yang mengobati saya sebelum dibawa ke Puskesmas” tiba – tiba Fikri teringat cerita abahnya, Beruang, Tauke Jakarta, tangan kosong?
“Siapa nama orang itu pak?” Fikri sudah tak sabar lagi
“Sadarudin bin Malik” jawab orang itu lantang, tak ada halangan dalam mengingat, Fikri tergagap... “Sa... Sadarudin bin Malik pak?”
“Ya... memang kenapa... kamu kenal?” Lelaki cina itu tak menangkap wajah terkejut diam Fikri, “Ah mungkin tidak ya, sekarang, kata anak buah saya yang saya utus mencarinya tak ada lagi yang kenal dengan nama itu, sekarang mereka memanggilnya Wak Labus, entah kenapa mereka memanggilnya begitu”
“Wak Labus itu Abah saya pak” kalimat itu keluar dari mulut Fikri, bersamaan dengan tarikan nafas pendek menahan tangis, tidak lagi karena marah tapi karena bangga. Teringatnya lagi bisik ayahnya ketika dia merajuk mendekam dalam kelambu dengan bibir bengkak sehabis berkelahi,
“Fikri... Abah memang jadi Labus dimate orang, tapi abah harap dak jadi labus di mate anak sorang, Abah lakukan ini tok meramaikan Warung kopi mak kau... biar kau bise sekolah, biar kau bise jejakkan kaki kau di Jakarta, biar kau jadi orang... biarlah abah kau ni habis dimakan zaman... kelak kau bakal tau mah benar dak nye cerite abah.. pegang jak kate – kate Abah, dak ade yang bulak”
Air mata tertahan dipelupuk mata Fikri mengingat abahnya yang kini sedang terbaring ditengah lautan yasin dan air mata mak juga Rumi.
[1] ACIadalah nama Longboat Penumpang yang dulu merupakan satu – satunya yang melayani rute Ketapang-Sungai Bening
"Hebat tadi tu bang... banya' yang ketawa" Maulida yang tadi memeran mak labus langsung mendatanginya, dia tetap tersenyum.
"Dapat dimane abang kite skenario cam ni...jangan yang baru dengar yang dah beulang - ulang pooon masih gak susah naknahan ketawak" Nah, ini dia Pak Labus masih dalam sarung yang mengalung dilehernya. Persis.Semua menyelamati, dia pun tersenyum menyambut, prestasi besar bagi sanggar teater yang sudah di ikutinya sejak Tahun pertama kuliah, tujuh tahun lalu, jadi sutradara pementasan dalam pekan teater daerah di Jakarta adalah mimpi yang terwujud, dan kaki yang menapak di tanah Jakarta adalah mimpi lainnya yang menyata.
Mimpi di satu masa ketika kepala gundulnya menatap langit dipucuk bukit pendamaran, sembari duduk bersadar pada tebing tanah liat di kampung kecilnya di pedalaman bagian barat pulau besar Kalimantan.
"Kau liat tadik tu bang?" Panca yang jadi Pak Labus mengembalikannya dari alam hayal "Pas Adegan BurongKebenat, semue ketawak tepingkal - pingkal" ya wajar saja, adegan itu diayang menulis. Cerita itu tentang satu dari banyak kebohongan pak Labus.
PakLabus bercerita dia pernah pulang berburu dengan tangan kosong, rupa - rupanyahari itu Senapang Lantak nya tak beruntung, tak satupun manjang atau kancilyang terhujam pelurunya, waktu melintas di jalan yang masih dirindangi pohontinggi dia melihat jejeran burung kebenat, Pak Labus segera mengendap disemak, sendawa diisikannya ke laras, kemudian pelor dimasukkan, siap sudah,sekarang bagian akhir, meletupkan senapang. Tapi Pak Labus urung melepaskantembakan, "Kalo ku tembak sekok yang laen pasti terbang, sayang lah..." Panca dengan pas menirukan Pak Labus, "jadi bagaimana ... " tanya para figuran di Warung kopi,
dalam cerita itu Pak Labus berkisah "Aku dak jadi nembak burung nyan, kucari dimane ujung cabang tempat die betengger...heeee... adaknye besak ak cabang nye te... ku tinting... Dar... " Panca yang sedang memerankan Pak Labus melompat dari kursi nya, bergaya teatrikal, mendatangi satu persatu figuran "Kau tau, kau tau... Sekali ku tembak, cabang nye patah, burung yang betengger di cabang nyanpun jatuk semue... Naaah, satu pelor tok semue burung... mantap kan?"
"Bang, ade telpon dari Rumi" Maulida membawakan HP nya yang tertinggal.
***
Enam Bulan sebelumnya,
Tujuh tahun dan Fikri tak pernah pulang sejak langkah kaki meninggalkan mak dan abah di kampung waktu dia pulang sebentar setamat Aliyah di Ketapang, bukan karena tak rindu tapi lebih karena malu. Rumi yang sudah bergelar sarjana memutuskan pulang, sedang dia tetap berdiri kokoh memasung diri di keramaian Pontianak, lambaian gadis dalam jilbab maroonnya hanya berbalas anggukan nanar, Pelabuhan Senghie menyembunyikan air matanya, air mata rindu.
Masih teringatnya ajakan Rumi di depan Asrama, jalan Haji Sood sudah beranjak sepi.
"Bang, Abah mao ketemu abang, sekali gik mah katenye..." dia mengisap rokok pelan mendengar Abah disebut, getir.
"Ngape bah bang, kalo sekedar malu, akupun malu bang... siape yang dak malu... tapi Abah bang, yang nyekolahkan kite sampai sekarang ni..." Fikri Mendengus, menatap langit berselaput polusi, bintang sudah lama merajuk pada malam - malam di langit kota ini. Dihembuskannya asap rokok, menghalau gelisah.
"Rumi, belum waktunye abang balik, sampaikan salam ke Mak, kalau dah tibe masenye, abang kan balik... tapi nanti dak sekarang"
“Abang dak ade rase rindu sikiii..t pun dengan Abah e bang? Abah bang, tengah nureh pun abang mah bang yang diomongkannye, udah dak mecam dolok giim bah bang... dak ade omonganlaen selaen abang... rindu bang orang tuak nyan...” terlihatnya sekilas airmata Rumi mengambang, sebelum gadis berselimut Jilbab lebar itu beranjak masuk ke dalam asrama putri.
“Belum waktunya” katanya berbisik pelan, “Tunggu sudah hilang lepas malu di hati abang..” hanya angin yang mendengar
***
Selepas perpisahan di PelabuhanSenghie itu, Rumi sering meneleponnya, si Gadis kecil yang dulu cemot mukanya oleh tanah lelabi itu kini telah mengajar di Madrasah Tsanawiyah Darul Qalam, tempat mereka menamatkan sekolah sebelum melanjutkan ke Ketapang lalu ke Pontianak. Masihnya terkenang olokkan kawan-kawan nya di Madrasah, terkadang didapatinya pula Rumi menangis tersedu karena olok – olokan yang sama, dan semuanya hanya karena lelaki itu, lelaki yang tiap pagi tertawa lebar di Warung kopi Mak-nya.
Lelaki itu yang menjadi Sebab tiap keluarnya airmata Rumi atau Darah di bibirnya habisberkelahi karena tak tahan menjadi bahan olok-olokan, YA sebabnya lelaki perokok berbibir tebal berkulit hitam yang suka tertawa terbahak, lelaki itu Abahnya sendiri.
Warung kopi Mak memang terkenal diseluruh kampung, letaknya di Penambangan menuju seberang sangat strategis, para kuli panggul—ah dikampung mereka dipanggil swakang—saban pagi singgah diwarung sebelum menyeberang mencari rejeki, dan sekalian mendengarkan bualanAbahnya, ya Abahnya tukang bual.
Selalu ada di setiap generasi orangyang berperan seperti Abah di Sungai Bening, dulu dia bangga nama Abahnya di sebut orang, diapula bangga abahnya bisa menjatuhkan sepuluh burung kebenat dengan sekali tembak, pun dia bangga abahnya bisa menyembelih Rusa di bawah pondok ladang tanpa ada yang membantu, juga dia sangat suka sekali jika sesekali abahnya bercerita pernah menolong seorang tauke cina dari Jakarta dari kejaran beruang, hanya dengan tangan kosong . Dulu dia bangga, sebelum otaknya bertambah paham bahwa apa yang diceritakan Abahnya adalah hal yang tidak mungkin, hanya bahan bualan. Dan menurutnya pembual Abah sudah keterlaluan, pada anaknya sendiri pun dia tega membual, sakitnya; cerita – cerita itu masih terekam jelas dibenaknya.
Sejak dia menyadari ada kata bernama malu, maka dia malu punya Abah sang pembohong besar, sejak itu dia benci pada Abahnya. Dia mengikis nama itu dari pergaulannya, tak ingin dia tahu jika Lelaki itu ayahnya sendiri. Kebencian menaungi batinnya.
Kebencian itu kemudian berpinak ketika masuk sekolah, mulai dari SD hingga Aliyah, ya bahkan di Ketapang—lima jam naiklongboat—pun Abahnya terkenal, rupanya para swakang yang memanggul tas penumpang ACI[1] sering bercerita sesamanya tentang Abah, para penumpang mendengar, lalu ceritanya dibawa buih pawan Ke Ketapang. Dan dia, Fikri si anak Pak Labus, bapaknya pembual anaknya pun demikian, begitu kata mereka.
***
“Bang, cepat balik, Ade musibah...” Suara Rumi menyentakkan kesadarannya, Musibah dan kematian adalah berita yang paling ditunggu tapi sekaligus ditolaknya dalam doa-doa pada Allah, “jika belum kikis benciku pada abah, janganlah cabut sempatku berbakti ya Allah”
“Abah bang...”Terdengar di seberang sana isakan tersendat, di-belakangnya samar Fikri mendengar surah yasin dibacakan...
“Ye, Abang besok balik am...”
***
Panca yang mengantarnya ke Bandara, sementara yang lain hanya menitip doa dan sedikit uang, mereka pula urunan membayar tiket Pesawat langsung ke Ketapang. Pesawat tinggal landas meninggalkan Bandara Soekarno-Hatta, di ketinggian dia masih saja takjub pada kepadatan ibu kota itu, walau masih di tepian utaranya. Pesawat menyusuri awan, lambat laun Jakarta terlupakan, berkali – kali Fikri menelan ludah untuk menyesuaikan tekanan udara ditelinganya, dia dapat itu dari Bang Yusman, seniornya yang banyak memberi pelajaran tentang Teater dan mendorongnya menulis.
“Pulang atau pergi ke Ketapang...” Seorang Bapak berpakaian Rapi disebelahnya bertanya, seorang tiong hua, Tauke.
“Transit pak, habis ini langsung pakai travel ke kampung di ulu” jawab Fikri sembari membenarkan duduknya
“Kalaubapak?”
“Saya ada urusan sedikit sekalian ingin ketemu kawan lama, mungkin sudah tiga puluh tahun tak bertemu” kata lelaki itu, dari jas-nya “urusan sedikit” itu bukan sesedikit gula, tapi sesedikit emas.
“Kawan saya pun dari hulu, dari SungaiBening” Fikri terlonjak kaget ketika nama kampungnya disebut.
“Saye pun dari Sungai Bening pak” refleks Fikri menjawab “tapi mungkin kawan bapak dari seberang kanan, kami seberang kiri” sadarnya
“Bukan, kawan saya juga dari Sungai Bening kiri, dulu saya ikut survey perusahaan tambang di Sungai Bening, entah bagaimana kemah kami diserang beruang, semua lari tapi saya yang memakai kantong tidur tak dapat berdiri cepat” dia menunjukkan bekas luka di lengannya, sisa dari sobekan dalam “ini kena cakar beruang, beruntung ada orang kampung yang ikut kami, dia melemparkan puntung kayu api ke beruang itu, puji Tuhan, beruang itu meninggalkan saya, orang kampung itu yang mengobati saya sebelum dibawa ke Puskesmas” tiba – tiba Fikri teringat cerita abahnya, Beruang, Tauke Jakarta, tangan kosong?
“Siapa nama orang itu pak?” Fikri sudah tak sabar lagi
“Sadarudin bin Malik” jawab orang itu lantang, tak ada halangan dalam mengingat, Fikri tergagap... “Sa... Sadarudin bin Malik pak?”
“Ya... memang kenapa... kamu kenal?” Lelaki cina itu tak menangkap wajah terkejut diam Fikri, “Ah mungkin tidak ya, sekarang, kata anak buah saya yang saya utus mencarinya tak ada lagi yang kenal dengan nama itu, sekarang mereka memanggilnya Wak Labus, entah kenapa mereka memanggilnya begitu”
“Wak Labus itu Abah saya pak” kalimat itu keluar dari mulut Fikri, bersamaan dengan tarikan nafas pendek menahan tangis, tidak lagi karena marah tapi karena bangga. Teringatnya lagi bisik ayahnya ketika dia merajuk mendekam dalam kelambu dengan bibir bengkak sehabis berkelahi,
“Fikri... Abah memang jadi Labus dimate orang, tapi abah harap dak jadi labus di mate anak sorang, Abah lakukan ini tok meramaikan Warung kopi mak kau... biar kau bise sekolah, biar kau bise jejakkan kaki kau di Jakarta, biar kau jadi orang... biarlah abah kau ni habis dimakan zaman... kelak kau bakal tau mah benar dak nye cerite abah.. pegang jak kate – kate Abah, dak ade yang bulak”
Air mata tertahan dipelupuk mata Fikri mengingat abahnya yang kini sedang terbaring ditengah lautan yasin dan air mata mak juga Rumi.
[1] ACIadalah nama Longboat Penumpang yang dulu merupakan satu – satunya yang melayani rute Ketapang-Sungai Bening